Minggu, 31 Januari 2010

KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH DALAM PERSPEKTIF DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

PENDAHULUAN
Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah (Destoda) menjadi tantangan bagi setiap daerah untuk semakin nyata memanfaatkan peluang kewenangan yang diperoleh serta tantangan untuk mengembangkan kapasitas otonomi yang dimiliki. Satu hal yang pasti, bahwa bila selama ini kendala kewenangan dan kapasitas kemandirian daerah dikeluhkan, maka era dewasa ini adalah benar-benar merupakan kesempatan untuk mengembangkan inisiatif, prakarsa dan kreativitas daerah, baik melalui kebijaksanaan perencanaan program maupun aspek kebijaksanaan keuangan daerahnya.
Sejauh ini, manajemen keuangan daerah, khususnya mengenai pembiayaan penyelenggaraan pemerintah daerah, meskipun sudah menampakkan peran serta dan partisipasi masyarakat, namun pada umumnya belum ditampakkan secara gamblang dan rinci sejak proses perencanaan. Peranan masyarakat luas, khususnya dunia usaha dalam total pembiayaan penyelenggaraan pemerintah daerah masih ditempatkan sebagai “faktor residu”, sebagai selisih antara total kebutuhan pembiayaan penyelenggaraan pemerintah daerah dan kemampuan pembiayaan oleh sektor pemerintah secara keseluruhan. Sebuah tantangan mamasuki era Destoda, dimana faktor residu tersebut sudah perlu dieksplisitkan dan dijabarkan secara nyata dalam proses perencanaan.
Apalagi dalam perspektif serta arah pengembangan pembangunan bidang politik ke depan, telah menempatkan peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang semakin nyata dan terbuka. Dimana, menuntut lahirnya kerangka kebijaksanaan pemerintah daerah terutama pembiayaan penyelenggaraan pemerintah daerah yang terbuka dan bukan merupakan “domain” sektor pemerintah saja. Karenanya, pemerintah daerah perlu memfasilitasi kegiatan bersama, baik dengan pemerintah maupun dengan masyarakat ke dalam bentuk penyediaan alokasi dana pendampingan dan pelayanan publik lainnya.
Historia manajemen keuangan daerah di Indonesia menunjukkan, sebelum memasuki era Destoda fokus perhatiannya diarahkan pada peningkatan penerimaan daerah, baik melalui kegiatan intensifikasi maupun melalui kegiatan ekstensifikasi perpajakan. Bahkan pada saat UU No. 22/1999 yang saat ini lagi dipersiapkan naskah revisinya tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 yang juga siap-siap untuk direvisi tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah diimplementasikan, manajemen keuangan diidentifikasi sebagai upaya-upaya yang harus dilakukan untuk meningkatkan penerimaan daerah. Sehingga amanat penting yang menjadi pesan dari UU tersebut, dalam implementasi kebijaksanaan keuangan daerah yang menitik-beratkan pada aspek alokasi dan pengeluaran daerah, menjadi terabaikan. Sebagaimana yang diatur dalam UU No. 22/1999 yang kemungkinan besar hal sama tidak akan berupa pada UU hasil revisi nantinya, kewenangan moneter dan fiskal masih merupakan kewenangan pemerintah pusat dan bukan pemerintah daerah, selain hal-hal yang telah didesentralisasikan (desentralisasi fiskal). Dimana desentralisasi di bidang fiskal ini lebih menitikberatkan pada proses pengeluaran keuangan daerah dan tetap membatasi daerah dalam proses penerimaannya.
Hal itu berarti, pemerintah daerah tidak banyak memiliki kewenangan untuk mendorong penerimaan daerah melalui beban pajak dan retribusi daerah kepada masyarakatnya. Karena dengan kebijaksanaan yang membebani masyarakat melalui berbagai pungutan tersebut, akan cenderung berdampak mematikan aktivitas ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Pemerintah daerah hendaknya secara cermat membatasi kebijaksanaan-kebijaksanaannya yang berorientasi peningkatan tarif pajak dan retribusi demi peningkatan penerimaan daerah, karena peningkatan tarif akan merugikan masyarakat. Perlu kiranya dipikirkan oleh pemerintah daerah, bagaimana upaya untuk menumbuhkan aktivitas ekonomi daerah, membuka jaringan distribusi barang dan jasa melalui penciptaan infrastruktur perdagangan, sehingga perekonomian daerah meningkat dan pada gilirannya pajak dan retribusi daerah menjadi lebih meningkat.
Mengenai hal tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh Suhab (1997; 7) dengan mengutip World Bank (1994) secara spesifik merekomendasikan dua hal pokok, yakni (1) pengalokasian anggaran belanja pemerintah daerah pada kegiatan pembangunan yang mempunyai “cost recovery” tertinggi dan (2) pengalokasian anggaran-belanja daerah pada kegiatan pembangunan yang mampu merangsang penerimaan daerah. Dengan demikian, kehadiran UU No. 25/1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, telah memberi ruang gerak yang lebih besar bagi pemerintah daerah untuk menata secara lebih mendasar, tetapi komprehensif, kerangka pengelolaan dan implementasi penyelenggaraan roda pemerintahan, dengan mengacu pada dua hal pokok tersebut di atas.
Sifat atau nilai kemandirian, serta tuntutan kreativitas yang dimiliki dan dikembangkan oleh setiap daerah otonom yang dewasa ini telah menjadi magic word pada setiap pidato dan pengarahan kepala daerah, semakin mempertegas tuntutan untuk lebih meningkatkan dan menjamin terdapatnya seperangkat strategi pembiayaan penyelenggaraan pemerintah daerah yang benar-benar terarah, menyeluruh dan terpadu. Sehingga dapat secara efisien memanfaatkan setiap sumberdaya yang ada dan mampu dikreasikan secara efektif untuk mencapai tujuan yang ingin dicapainya. Hal ini berimplikasi pada diperlukannya pengujian dan pencermatan pada berbagai hal berkaitan dengan kebijaksanaan keuangan daerah. Pertama, apakah strategi yang ada selama ini masih cukup memadai dan bisa dipertahankan dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, dimana akan semakin meningkat bobot dan intensitasnya. Atau, kedua, sudah diperlukan upaya-upaya sistematik dan serius yang diharapkan dapat secara signifikan menuntun penyelenggaraan pemerintah daerah yang telah dicapai saat ini, dimana ingin dipertahankan bahkan secara sustainable akan terus ditingkatkan.
Keadaan tersebut tidak lantas membuat setiap daerah otonom harus berlama-lama menengok ke belakang dan menyesali apa yang telah dilakukannya, tetapi diperlukan komitmen yang kuat dan political will untuk menyadari kondisi kekinian dan berbuat untuk kemajuan dan perkembangan daerah ke depan. Karena pada saat yang sama, paradigma perencanaan keuangan pemerintahan daerah, terus diperhadapkan pada tuntutan masyarakat yang semakin besar terhadap pelayanan publik yang efisien, efektif, ekonomis, responsive, transparan dan akuntabel. Hal tersebut semakin dipertegas oleh pemerintah melalui Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Keputusan Menteri, yakni: Pertama, UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara. Kedua, PP No. 105/2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, yang secara spesifik disebutkan pada pasal 8 yang berbunyi bahwa “APBD disusun dengan pendekatan kinerja”, dan disyaratkan pada pasal 20 ayat 2: “untuk mengukur kinerja keuangan pemerintah daerah dikembangkan Standar Analisa Biaya (SAB), tolok ukur kinerja dan standar biaya”. Ketiga, Kepmendagri No. 29/2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Berbagai perspektif berpikir tersebut di atas, hendaknya mampu menuntun setiap daerah otonom untuk menemukan kerangka dasar dalam menyusun rumusan kebijaksanaan keuangan daerah melalui kebijaksanaan operasional tahunan penyelenggaraan pemerintah daerah ke dalam APBD berbasis kinerja. Hal ini penting, mengingat sistematika berpikir tersebut, secara normatif paling tidak didasari oleh berbagai konsepsi hipotesis ideal yang berkembang selama ini. Secara umum di Indonesia, peranan sektor pemerintah di daerah masih sangat penting, hanya saja masih memiliki ketergantungan yang besar pada alokasi sektoral serta bantuan dan subsidi dari pemerintah pusat untuk pembiayaan pemerintahan daerahnya. Kenyataan seperti ini hendaknya dicermati dalam pelaksanaan Destoda dewasa ini, dimana banyak mengalami pergeseran dan perubahan secara drastis. Dapat dikatakan bahwa sebelum lahirnya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999, Destoda lebih banyak dikumandangkan sebagai “hak” yang harus diperoleh oleh daerah. Saat ini, Destoda sudah perlu lebih ditonjolkan dalam wujud dan pencerminan “tanggung jawab”, yang secara terukur dan perlu secara terbuka untuk dinilai oleh masyarakat luas, dan untuk itulah kebijaksanaan keuangan daerah yang akuntabel dengan mengedepankan prinsip penyusunan anggaran yang cermat, konsisten dan disiplin diperlukan.

APBD DAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
Kebijaksanaan operasional keuangan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah merupakan muara dari seluruh rangkaian kebijaksanaan perencanaan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintah daerah. APBD sebagai wujud kebijaksanaan keuangan pemerintah daerah, merupakan derivasi dari dokumen-dokumen perencanaan yang secara sistematis dilahirkan sebelumnya. Karenanya, APBD sebagai suatu rangkaian kebijaksanaan operasional daerah memiliki peran simpul di dalam menjaga konsistensi dan keutuhan antar dokumen-dokumen perencanaan daerah, sehingga antara satu dokumen perencanaan dengan dokumen perencanaan lainnya tidak dapat terpisahkan. Fungsionalisasi APBD tersebut, secara cermat sistematikanya dapat dinarasikan ke dalam tiga hal pokok, berikut ini: Pertama, APBD dan konsistensinya dengan dokumen perencanaan pembangunan daerah lainnya. Kedua, mekanisme penyusunan arah dan kebijakan umum APBD. Ketiga, mekanisme penyusunan APBD.

APBD dan Konsistensi Dokumen Perencanaan Daerah
Sistematika, proses dan mekanisme perencanaan pembangunan daerah dalam perspektif Destoda, hendaknya memperlihatkan perencanaan daerah secara terpadu dan terintegrasi antara kebijaksanaan perencanaan program dan kebijaksanaan pembiayaan penyelenggaraan pemerintah daerah. Kedua kebijaksanaan daerah tersebut dipayungi oleh gambaran kesuksesan daerah dalam suatu jangka waktu tertentu yang terumuskan melalui visi daerah serta derivasinya pada visi kepemimpinan daerah. Dimana visi daerah bersangkutan, pada satu sisi dituntun oleh kepentingan nasional yang harus “dikontribusi” oleh daerah tersebut. Pada saat yang sama, terdapat hal-hal spesifik daerah yang akan mendorong kemajuan daerah dan masyarakat, dan pada hal-hal yang spesifik inilah hendaknya mampu diterjemahkan ke dalam visi kepemimpinan, berdasarkan periode kepemimpinan daerah masing-masing.
Visi daerah yang dimuat dalam Pola Dasar (POLDAS) dan dipertajam melalui rumusan visi kepemimpinan periode berjalan, diderivasi ke dalam kebijaksanaan operasional tahunan yang merupakan issu serta agenda utama yang akan dijalankan dalam jangka waktu satu tahun penyelenggaraan pemerintahan daerah ke depan. Dengan mempergunakan arahan spasial dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), issu dan agenda utama, sasaran dan tujuan program indikatif tersebut dirumuskan oleh pemerintah daerah ke dalam bentuk Program Pembangunan Daerah (PROPEDA). Formulasi Propeda ini memiliki kesetaraan dengan Rencana Strategis (Renstra) pemerintah daerah (sebagian daerah menyebutnya sebagai Renstrada), dimana secara sistematik diverivasi dari visi kepemimpinan kepala daerah periode berjalan. Dokumen perencanaan Propeda dan Renstra Pemda inilah yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah untuk difasilitasi dan diimplementasikan ke dalam kebijaksanaan yang lebih operasional dan implementatif. Kebijaksanaan operasional tahunan yang dijabarkan ke dalam program, target program dan rincian kegiatan tahunan hendaknya mengacu pada variabel antara (intermediate variable) yang diperankan oleh dokumen perencanaan Renstra Unit Kerja masing-masing. Renstra Unit Kerja ini merupakan operasionalisasi dan penjabaran dari Renstra Pemerintah Daerah.
Jadi, kebijaksanaan operasional tahunan pemerintah daerah dalam bentuk dokumen perencanaan Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (REPETADA) tersebut merupakan penjabaran dan derivasi, baik dari Propeda maupun dari Renstra Unit Kerja. Berdasarkan pada Repeta dan Rencana Tahunan Unit Kerja yang dijabarkan dari Renstra masing-masing unit kerja, pemerintah daerah menyusun kebijaksanaan keuangan daerah yang dituangkan dalam RAPBD/APBD. Dokumen perencanaan RAPBD/APBD tersebut akan memuat dua aspek pokok, yakni (i) kebijaksanaan keuangan dalam bentuk Nota Keuangan, dan (ii) penjabaran RAPBD/APBD berupa rincian kegiatan, kegiatan prioritas dan target-target kegiatan tahunan pemerintah daerah. Hal itu berarti kebijaksanaan keuangan daerah yang dituangkan dalam RAPBD/APBD bukan hanya memuat aspek penerimaan daerah, tetapi yang lebih penting bagaimana menyusun alokasi pembiayaan yang dalam perspektif desentralisasi dan otonomi daerah, lebih mengedepankan kegiatan pemerintah daerah yang mampu merangsang penerimaan daerah lebih lanjut. Dalam konteks berpikir inilah, substansi pemikiran untuk mengimplementasikan RAPBD/APBD berbasis kinerja dalam “mengawal” pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah menjadi signifikan keberadaannya.

Mekanisme Penyusunan Arah dan Kebijaksanaan Umum APBD
Sistematika berpikir sebagaimana yang tertuang melalui keterkaitan dokumen perencanaan tersebut di atas, memvisualisasikan posisi penting dan strategisnya kebijaksanaan keuangan daerah dalam implementasi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kebijaksanaan keuangan daerah yang dituangkan dalam APBD harus dapat dipayungi oleh “arah dan kebijaksanaan umum APBD”, yang merupakan kesepakatan antara legislatif dengan eksekutif, dan sebagai lembaran daerah yang harus dipertanggungjawabkan secara bersama ke hadapan masyarakatnya dan pemilihnya. Arah dan kebijaksanaan umum (AKU-APBD) inilah sebagai pengantar dan dijabarkan ke dalam bentuk “nota keuangan” dalam APBD yang merupakan pedoman dan “payung” dalam penyusunan penjabaran APBD. Karenanya, pembahasan penjabaran APBD antara eksekutif dan legislatif, secara ideal tidak lagi membutuhkan waktu yang panjang dan berbelit-belit, pembahasan AKU-APBD-lah yang akan membutuhkan waktu yang panjang dan menyita perhatian eksekutif dan legislatif, karena akan disorot oleh publik. Hal ini harus ditempuh, mengingat tuntutan yang demikian besar untuk dapat mempertemukan dan merumuskan berbagai aspirasi dari para stakeholder penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk periode satu tahun berjalan ke depan. Memasuki pembahasan RAPBD, nota keuangan yang dijabarkan dan diderivasi dari AKU-APBD ini, hendaknya menjadi bagian penting dan perhatian utama dalam mempertemukan konsep kebijakan keuangan eksekutif dengan aspirasi masyarakat luas yang menjadi pemilih bagi para anggota legislatif. Hal itu berarti, legislatif sebagai pembawa aspirasi masyarakat luas, idealnya lebih banyak menyorot nota keuangan ini karena berkaitan langsung dengan kebijaksanaan yang akan mengantarkan pemerintah daerah dalam mengimplementasikan kesejahteraan masyarakat dan pelayanan publik. Legislatif “semestinya” menghindari untuk “terjebak” ke dalam pembahasan secara berkepanjangan ke dalam item-item batang tubuh RAPBD, yang tidak lain berupa teknis dan perincian pembiayaan pada item-item kegiatan pemerintah daerah untuk pencapaian dan implementasi kebijaksanaan yang telah ditetapkan secara bersama.
Mekanisme dan sistematika berpikir dalam rangka penyusunan arah dan kebijaksanaan umum APBD ini, sebagaimana yang dituangkan dalam Kepmendagri No. 29/2002 memberikan gambaran dan penekanan pada pentingnya “mengantar” penyusunan RAPBD/APBD dengan kebijaksanaan pemerintah atasan, dokumen-dokumen perencanaan yang telah ada sebelumnya dan aspirasi masyarakat luas. Pertama, kebijaksanaan pemerintah atasan, dimana meskipun pemerintah daerah otonom kabupaten/kota tidak memiliki hubungan hirarkial dengan pemerintah propinsi, tetapi (i) pemerintah propinsi merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat di wilayahnya, sehingga baik secara struktural maupun secara kewilayahan antara pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah propinsi memiliki korelasi dan interdependensi yang sangat signifikan. (ii) Pemerintah daerah kabupaten/kota sebagai daerah otonom, salah satu fungsi pemerintahan daerah yang mestinya dijalankan adalah mampu mengakses kebijaksanaan, program dan bahkan kegiatan pemerintahan di atasnya, agar dapat memperbesar kontribusi daerah otonom dalam pencapaian pembangunan wilayah dan bahkan pembangunan nasional. Karenanya, kebijaksanaan pemerintah atasan menjadi penuntun dan sebagai data historis bagi pemerintah daerah dalam menjaring aspirasi masyarakat dan membangun kesepakatan dengan legislatif dalam menetapkan AKU-APBD.
Kedua, Renstrada (atau Renstra Pemda) bersama dengan dokumen-dokumen perencanaan daerah lainnya, bukan hanya menjadi menntun pemerintah daerah (eksekutif), tetapi juga menjadi acuan utama bagi DPRD (legislatif) untuk membangun kesepakatan dalam penyusunan AKU-APBD. Karenanya dokumen-dokumen perencanaan daerah yang dimaksudkan disini paling tidak yang disyahkan sebagai lembaran daerah, dimana DPRD juga ikut terlibat dalam penetapannya sehingga juga ikut bertanggung jawab penuh dalam pengawasan implementasi pelaksanaan dalam masyarakat.
Ketiga, masyarakat sebagai sumber aspirasi, baik bagi eksekutif (pemerintah daerah) maupun bagi legislatif (DPRD). Komponen-komponen yang dilibatkan dalam penjaringan aspirasi ini antara lain: tokoh masyarakat, LSM, organisasi masyarakat, asosiasi profesi, perguruan tinggi dan lain sebagainya. Mekanisme penjaringan aspirasi masyarakat ini, secara sistematik juga memiliki sistem penjaringan tersendiri.
Keempat, Pemerintah Daerah dan DPRD, baik secara simultan maupun secara parsial berusaha membangun kesepakatan, sesuai dengan referensi yang dimiliki masing-masing seperti kebijaksanaan pemerintah atasan, dokumen-dokumen perencanaan daerah dan aspirasi masyarakat luas. DPRD dengan berdasarkan referensi dari dokumen-dokumen perencanaan daerah, aspirasi masyarakat luas, senantiasa secara cermat menyampaikan pokok-pokok pikiran kepada pihak pemerintah daerah. Pada sisi yang lain, pemerintah daerah melalui referensi data historis yang dimiliki dari kebijaksanaan pemerintah atasan dan dokumen-dokumen perencanaan daerah yang telah disusun sebelumnya, memperkuat aspirasi masyarakat yang telah terjaring melalui mekanisme yang tentunya aspiratif. Dua sisi yang berbeda ini, eksekutif dan legislatif, masing-masing “mengklaim” memiliki tujuan dan nurani yang sama dalam memajukan daerah dan masyarakatnya, melalui wujud kesepakatan bersama dalam rumusan arah dan kebijaksanaan umum APBD untuk satu tahun periode yang akan berjalan.

Penyusunan APBD
Rumusan arah dan kebijaksanaan umum APBD sebagai hasil kesepakatan bersama antara pemerintah daerah dan DPRD menjadi entry point dalam penyusunan RAPBD/APBD untuk periode waktu yang sama. AKU-APBD tersebut, harus dapat terukur, rumusannya harus jelas dan tegas, sehingga menjadi referensi utama bagi pemerintah daerah melalui Tim Anggaran Eksekutif (TAE) dalam merumuskan strategi dan prioritas APBD. Strategi dan prioritas APBD tersebut, oleh TAE diserahkan kepada DPRD melalui Panitia Anggaran Legislatif (PAL) untuk dibahas lebih lanjut, baik pada tingkat fraksi hingga pada paripurna DPRD. Dalam pembahasan strategi dan prioritas APBD oleh DPRD melalui PAL ini, AKU-ABPD yang telah disepakti dengan pihak pemerintah daerah dijadikan sebagai referensi utama, sehingga mekanisme dan konsistensi kebijaksanaan dengan strategi dan prioritas kegiatan pemerintah daerah akan tetap terjaga dengan baik.
RAPBD/APBD yang telah dirumuskan oleh pemerintah daerah melalui TAE yang
minimal dari unsur-unsur Dinas Pendapatan Daerah (Badan Pengelola Keuangan Daerah), Bappeda dan Biro Keuangan Sekretariat Daerah, akan membahas dua hal pokok yakni nota keuangan dan batang tubuh. Nota keuangan, memaparkan kebijaksanaan-kebijaksanaan penting menyangkut keuangan daerah, baik dari sisi penerimaan maupun pada sisi pembiayaan kegiatan pemerintah daerah. Sedangkan batang tubuh, memaparkan rincian kegiatan prioritas, target-target kegiatan yang ingin dicapai beserta dengan rincian besaran angka dan sumber penerimaan serta besaran angka dan alokasi pengeluaran pemerintah daerah selama periode waktu satu tahun. Dua hal pokok inilah yang selanjutnya diserahkan untuk dibahas dengan memakai pola dan mekanisme tersendiri baik pada tingkat PAL, Fraksi maupun melalui Rapat Paripurna DPRD untuk ditetapkan sebagai Peraturan Daerah.
Secara khusus, tugas dan tanggung jawab DPRD yang berkaitan dengan APBD ini, sebagaimana UU No. 22/1999, Pasal 18 Ayat 1 berbunyi: “DPRD mempunyai tugas dan wewenang: ........ butir e: bersama ....... menetapkan APBD, butir f: melaksanakan pengawasan terhadap: f.3: pelaksanaan APBD dan f.4: kebijakan pemda”. Mencermati tugas dan wewenang DPRD yang berkaitan dengan APBD tersebut, DPRD nampak jelas memiliki tanggung jawab dalam “menetapkan” dari RAPBD menjadi APBD, yang selanjutnya memiliki kewajiban dalam melakukan pengawasan terhadap dua hal pokok, yakni kebijaksanaan pemda dan pelaksanaan APBD. Dalam hal kebijaksanaan Pemerintah Daerah, khususnya menyangkut kebijaksanaan keuangan daerah yang hendaknya menjadi perhatian utama DPRD dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat luas.
Penyusunan RAPBD/APBD dalam perspektif Destoda ini, sebagaimana amanat dari UU No. 17/2003, PP No. 105/2000 dan Kepmendagri No. 29/2002 hendaknya mempergunakan pendekatan kinerja, yang selanjutnya dikenal dengan istilah “APBD Berbasis Kinerja”. Dengan demikian, sejumlah wawasan dasar yang hendaknya dimiliki dan sejumlah prinsip-prinsip dasar yang hendaknya diperhatikan dalam penyusunan RAPBD/APBD oleh PAE dan pembahasan RAPBD/APBD oleh PAL. Wawasan dan prinsip dasar ini bahkan sudah menjadi aksioma yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan dan pembahasan RAPBD/APBD berbasis kinerja.
Pertama, perlu dipahami bahwa terjadi perubahan mendasar dalam pengelolaan keuangan daerah, dimana esensi perubahannya terletak pada pentingnya perubahan pola pikir, baik oleh pihak eksekutif maupun legislatif.
Kedua, prinsip penyusunan anggaran hendaknya memperhatikan prinsip kecermatan, konsistensi dan kedisiplinan anggaran serta asas keadilan masyarakat dan kepatutan.
Ketiga, transparansi dan akuntabilitas anggaran hendaknya menjadi pertimbangan, terutama dengan didasarkan atas kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh daerah otonom.
Keempat, dalam penyusunan dan pembahasan anggaran baik pihak pemda maupun DPRD hendaknya jangan terperangkap dalam “money illusion”, dimana daerah otonom merasa banyak memiliki uang dan merasa kaya, sehingga cenderung tidak efisien dan efektif dalam pengalokasian dan pengelolaan keuangan daerah.
Kelima, karenanya, baik pada rumusan kebijaksanaan maupun dalam penjabaran prioritas dan target kegiatan, disyaratkan agar dapat dirumuskan secara jelas, tegas, sehingga dapat terukur kinerja pencapaiannya.

STRUKTUR APBD BERBASIS KINERJA
Esensi perubahan yang terjadi dalam wawasan dan prinsip dasar penyusunan APBD sebagaimana disebutkan di atas, membawa konsekuensi pada perubahan baik azas dan prinsip penyusunan maupun berkaitan format dan struktur APBD. Pertama, dari segi azas penyusunan, terjadi pergeseran azas anggaran berimbang dan dinamis kepada azas anggaran surplus/defisit. Kedua, pada aspek format APBD, secara teknis dalam sistem akuntansi keuangan daerah, terjadi pergeseran dari T-Account kepada I-Account. Ketiga, prinsip penyusunan anggaran, yang sebelumnya menganut line-item budget, incremental, orientasi pada input dan fragmented bergeser menjadi performance budget, mempergunakan standar pelayanan, orientasi pada output dan outcomes serta integrated. Keempat, dengan berbagai pergeseran tersebut berimplikasi kuat pada struktur APBD berbasis kinerja, yakni dari struktur lama yang terdiri atas penerimaan (penerimaan dalam negeri = PAD dan dana transfer pemerintah pusat serta penerimaan pembangunan) dan pengeluaran (yang terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan, termasuk di dalamnya adalah penerimaan dari pinjaman danbantuan luar negeri), dimana dengan format T-Account, kedua komponen penerimaan dan pengeluaran ini harus selalu berada dalam keadaan berimbang, bergeser menjadi struktur yang baru berupa I-Account yang terdiri atas pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan pemerintah daerah.
Secara rinci komponen-komponen dalam APBD tersebut, dapat dicermati sebagai berikut: Pertama, pendapatan daerah (bukan penerimaan daerah), dikelompokkan ke dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan dan Lain-Lain Pendapatan Yang Sah. PAD terdiri atas komponen-komponen pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba BUMD serta lain-lain PAD. Pada komponen-komponen PAD inilah daerah otonom memiliki kewenangan yang luas untuk mengkreasikan penerimaannya, baik secara ekstensifikasi maupun secara intensifikasi sumber-sumber penerimaan. Sedangkan dana perimbangan terdiri atas: bagi hasil, dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK). Dana bagi hasil daerah meliputi pajak bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) dan penerimaan dari Sumber Daya Alam (SDA). Pada komponen PAD ditambah dengan Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (DBHPBP) inilah yang merupakan indikator fiscal capacity bagi setiap daerah. Fiscal capacity ini merupakan indikator utama dalam mengukur kemampuan pemerintah daerah untuk membiayai sendiri kegiatan pemerintahan daerah yang dijalankan, tanpa tergantung bantuan dari luar, termasuk dari pemerintah pusat.
DAU dan DAK merupakan alokasi pembiayaan daerah yang termuat dalam APBN yang dimaksudkan untuk membantu pembiayaan pemerintahan daerah baik secara umum, maupun secara khusus. Dimana DAU memiliki tujuan utama untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, sedangkan DAK dialokasikan kepada daerah dengan tujuan untuk membantu pembiayaan daerah dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan khususnya. Sedangkan lain-lain pendapatan yang sah, dapat berupa dana kontinjensi atau dana penyeimbang yang dikelola dalam rekening khusus dan ditetapkan dengan peraturan daerah.
Kedua, belanja daerah yang terdiri atas 4 (empat) komponen yakni: belanja aparatur daerah, belanja pelayanan publik, belanja bagi hasil dan bantuan keuangan serta belanja tak terduga. Belanja aparatur daerah secara operasional dapat dipahami sebagai belanja yang dialokasikan dan digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat dan dampaknya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat luas. Sedangkan belanja pelayanan public, yakni belanja yang dialokasikan atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat dan dampaknya secara langsung dinikmati oleh masyarakat luas. Pada kedua jenis belanja ini, komponen-komponen pokoknya dapat dibedakan pada: (i) belanja administrasi umum yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa serta belanja perjalanan dinas, (ii) belanja operasi dan pemeliharaan serta (iii) belanja modal/pembangunan.
Dalam konteks belanja daerah inilah kinerja pelayanan unit kerja dapat diukur melalui tolok ukur kinerja (TUK), standar biaya dan ukuran penilaian. Tolok ukur kinerja pada setiap item kegiatan hendaknya dapat memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan tingkat relevansinya, mudah dipahami, konsisten, dapat diperbandingkan dan dapat dipercaya. TUK tersebut dengan ketetapan standar biaya yang ada menjadi indikator utama dalam melakukan penilaian yang berkaitan dengan input, output, outcomes, benefit dan impact dari setiap kegiatan yang dijalankan.
Ketiga, pembiayaan daerah, dimana dalam operasionalisasi penyusunan APBD ini terdiri atas dua komponen penting yang kejadiannya berjalan secara “bersyarat”. Artinya, jika komponen pertama yang terjadi maka komponen yang kedua tidak dapat tercipta, begitupun sebaliknya. Kedua komponen tersebut adalah penerimaan daerah dan atau pengeluaran daerah. Dimana jika system penganggaran dalam APBD menganut system deficit, maka yang dipikirkan oleh pemerintah daerah adalah bagaimana mencari dan mengkreasikan sumber-sumber penerimaan untuk menutupi kebutuhan defisit yang ada, dengan mengacu asumsi normatifnya bahwa kreasi sumber-sumber pembiayaan tersebut tidak akan memberatkan beban pada masyarakat luas.
Komponen-komponen yang memungkinkan untuk menutupi defisit anggaran tersebut antara lain: sisa perhitungan tahun lalu, transfer dana cadangan, penerimaan pinjaman dan obligasi serta hasil penjualan aset daerah. Sedangkan jika sistem penganggaran dalam APBD menganut anggaran surplus, maka tantangan berpikir bagi pemerintah daerah adalah bagaimana mengalokasikan surplus anggaran yang tersedia. Sejumlah kemungkinan yang dapat dipikirkan oleh pemerintah daerah adalah, antara lain: transfer ke dana cadangan, penyertaan modal, pembayaran utang pokok yang jatuh tempo, sebagai sisa lebih perhitungananggaran tahun berjalan.

EFISIENSI DAN EFEKTIVITAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN
Desentralisasi dan otonomi yang “tidak sepenuhnya” pada mekanisme pengeluaran pemerintah daerah, hendaknya menjadi perhatian utama pemerintah daerah otonom. Tantangannya adalah menemukan dan menentukan mekanisme perhitungan pengeluaran yang lebih efisien dan efektif dalam pencapaian tujuan kesejahteraan daerah dan masyarakatnya. Asumsi dasarnya adalah dengan melakukan pengeluaran secara lebih tepat dan bermanfaat bagi masyarakat banyak, maka performance dan akuntability pemerintah daerah dapat menjadi lebih baik, serta pergerakan ekonomi masyarakat dan pertumbuhan ekonomi daerah dapat lebih cepat tercipta. Dengan demikian, yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah adalah upaya-upaya nyata untuk “mengarahkan” pengeluaran dan pembiayaan penyelenggaraan pemerintah daerahnya, melebihi usaha-usaha mendorong peningkatan PAD dengan membebani pajak dan retribusi kepada masyarakat yang sedang berada dalam keterpurukan ekonomi.
Tantangan terbesar bagi pemerintah daerah dewasa ini adalah membangun sistem keuangan daerah yang tepat harga (efisien) dan tepat sasaran (efektif), dimana berimplikasi pada manajemen keuangan daerah yang paling tidak memiliki: Pertama, Tolok Ukur “kewajaran” harga barang yang dibeli untuk kepentingan pelayanan publik, yang berarti pemerintah daerah perlu memiliki tolok ukur penentuan “economic value” dari setiap belanja daerah untuk kepentingan pembelian faktor produksi. Kedua, setiap penyelenggaraan pemerintahan yang telah “diarahkan” atau “dipilih” harus mampu menunjukkan atau memiliki urgensi serta prioritas yang cukup tinggi dan memberikan hasil yang maksimal bagi berkembangnya aktivitas ekonomi masyarakat dan pertumbuhan ekonomi daerah. Hal itu berarti, setiap input yang dibeli dengan standar “kewajaran” di atas, harus mampu menghasilkan output yang cukup signifikan dalam mendorong aktivitas ekonomi masyarakat dan kegiatan ekonomi daerah secara luas.
Secara umum, daerah otonom dewasa ini, baik kabupaten/kota maupun propinsi tidak hanya berhadapan dengan hambatan, tantangan dan kendala yang sifatnya instrumental input, tetapi juga enviromental input. Dimana secara nyata banyak daerah otonom yang “terjebak” dan bahkan menciptakan sendiri sejumlah perangkap bagi kepentingan efisiensi penyelenggaraan pemerintahannya. Hal ini antara lain bisa disimak dari sejumlah fenomena ataupun kenyataan, seperti (i) delegasi kewenangan masih terakumulasi atau mandek pada tingkat pemerintah daerah kabupaten/kota dan belum terdesentralisasi lebih lanjut pada skala pemerintahan di bawahnya, contohnya pada tingkat kecamatan bahkan pada skala kelurahan dan desa, (ii) organisasi pemerintah daerah terperangkap menjadi “gemuk”, dan tidak fungsional keberadaannya sebagaimana tuntutan visi daerah dan kepemimpinan masing-masing. Hal tersebut akan bermuara pada terjadinya “penggelembungan” biaya over-head yang harus ditanggung oleh pemerintah daerah bersangkutan.
Hal tersebut dapat diamati dan dicermati dari kondisi dan perkembangan kinerja kegiatan pemerintah daerah, seperti: Pertama, kebutuhan infrastruktur fisik, justeru semakin berkembang baik skalanya maupun volumenya. Kedua, tuntutan pelayanan publik pada penyelenggaraan bidang non-ekonomi (kesehatan, pendidikan, sosial-budaya, kelembagaan masyarakat, dll) juga senantiasa meningkat. Ketiga, pembangunan antar daerah/wilayah yang senantiasa diupayakan untuk diserasikan dan diseimbangkan untuk memperkokoh pengembangan wilayah. Keempat, penguatan kelembagaan serta aparat pemerintah daerah sendiri, baik untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas pelayanan publik maupun untuk dapat mengimbangi kemajuan dan perkembangan di sektor dunia usaha dan masyarakat.
Tuntutan perkembangan kinerja kegiatan pemerintah daerah tersebut, paling tidak diderivasi dari pertimbangan-pertimbangan pokok yang mendasari pembiayaan penyelenggaraan pemerintah daerah, berupa: Pertama, anggaran pembiayaan pada belanja aparatur, yang diperuntukkan sebagai pemenuhan kebutuhan internal rumah tangga pemerintah daerah yang sepenuhnya mengacu pada optimalisasi pelayanan tanpa mengorbankan dasar organisasinya. Kedua, dana pendamping yang dialokasikan untuk mendorong, mengkreasikan, atau memfasilitasi kegiatan bersama/kerjasama, baik dengan pemerintah pusat atau daerah lainnya, maupun dengan masyarakat luas (individu dan perusahaan). Ketiga, anggaran pembiayaan pembangunan yang merupakan derivasi dari penciptaan efektivitas pemanfaatan anggaran sehingga mampu menciptakan tabungan pemerintah (anggaran surplus) yang selanjutnya dialokasikan untuk membiayai kegiatan-kegiatan pemerintah daerah yang mengarah kepada terbentuknya income generating bagi pemerintah daerah.
Sepatutnya disadari dan dipahami bahwa sejumlah pertimbangan yang menjadi dasar penyusunan RAPBD dan APBD perlu dicermati dan ditelaah lebih jauh, antara lain: Pertama, keperluan akan validitas, konsistensi dan disiplin perencanaan program dan kegiatan pemerintahan sesuai dengan arah dan visi daerah masing-masing. Kedua, kehadiran suatu kerangka pembiayaan penyelenggaraan pemerintah daerah yang bersifat menyeluruh dan terpadu sebagai acuan dasar segenap subyek pemerintahan daerah masing-masing. Ketiga, kehadiran seperangkat kebijaksanaan dan strategi dasar pembiayaan penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan penganggaran, baik dalam memamfaatkan dan mengalokasikan dana yang berasal dari pemerintah daerah sendiri maupun dalam mengakses sumber pembiayaan dari pemerintah pusat. Keempat, pemanfaatan potensi pinjaman daerah. Kelima, kapasitas swadaya masyarakat. Keenam, efektivitas manajemen keuangan daerah.
Tantangan tersebut, pada dasarnya bukan merupakan fenomena baru bagi setiap pemerintah daerah. Patut disadari bahwa pada satu pihak, tanggung jawab yang didelegasikan kepada pemerintah daerah dalam era destoda dewasa ini semakin besar bobotnya dan semakin luas bidang cakupannya. Di lain pihak, dengan akan lebih besarnya peran sektor swasta dan masyarakat dalam pembiayaan pembangunan, maka masalah perencanaan, implementasi dan pengendalian serta pemantauannya menjadi semakin tidak sederhana pula. Itu berarti, dituntut suatu upaya yang lebih sistematik, mulai dari wawasan dan pemahaman secara lebih mendasar sampai kepada perumusan kebijaksanaan pembiayaan penyelenggaraan pemerintah daerah yang benar-benar valid, agar dapat menyakinkan banyak pihak untuk tetap committed dan mendukung, sehingga mampu mendorong pencapaian tujuan bersama, untuk memajukan daerah dan masyarakatnya.

PENUTUP
Era Destoda berimplikasi pokok pada pembiayaan penyelenggaraan pemerintah daerah, dimana menuntut prakarsa, inisiatif dan kreativitas perangkat pemerintah daerah dalam mengembang segenap fungsi dan tugas pokok pemerintahan di daerahnya. Mulai dari menata pemanfaatan sumber-sumber pembiayaan, merencanakan dan selanjutnya mensosialisasikan ke tengah masyarakat tentang kerangka pembiayaan pemerintahan di daerahnya, menjamin efektivitas pembiayaan tersebut dalam rangka pencapaian tujuan, sampai kepada pengendalian dan pemanfaatannya.
Perkembangan paradigma sistem pengelolaan keuangan daerah, memang menuntut perubahan yang amat mendasar sejak dari wawasan dasar perencanaan dan pembiayaan penyelenggaraan setiap pemerintah daerah. Peranan pemerintah dalam semua dimensi dan kepentingan pemerintahan akan senantiasa strategis dan mendasar sifatnya. Hanya saja, tidak semuanya harus dipikirkan sendiri, dimana bersumber dan semua datangnya dari pemerintah semata. Peran strategis dan mendasar pemerintah daerah tersebut, terutama diwujudkan dalam bentuk kebijaksanaan dan strategi pengembangan segenap potensi sumberdaya pemerintahan yang dimiliki atau tersedia di daerahnya. Teruji dan terbuka untuk dapat diakses oleh segenap subyek pemerintahan di daerahnya. Hal ini kiranya dapat dipandang sebagai kecenderungan yang amat kuat, logis dan valid pada era-era Destoda sekarang ini dan ke depan. Walaupun saat ini, mungkin kondisi setiap daerah masih bervariasi potensi dasar maupun tingkat perkembangan yang dicapainya, namun tuntutan agar setiap daerah otonom “mempersiapkan diri”, kiranya sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Salah satu yang paling strategis hendaknya disiapkan oleh setiap daerah otonom guna pencapaian kinerja pemerintahan daerah melalui indikator-indikator keuangan daerah adalah signifikannya kehadiran kelembagaan pemerintah daerah yang secara khusus mengelola keuangan daerah, baik dari sisi penerimaan maupun pada sisi pengeluaran. Daerah otonom hendaknya secara cermat merespon kehadiran pendekatan penganggaran yang didasarkan pada pencapaian kinerja pemerintah daerah.
Daerah otonom sadar atau tidak sadar, sedang dituntun untuk lebih banyak mengutak-atik sisi pengeluaran, bukan pada sisi penerimaan, UU No. 32/2004 menyebutkan bahwa salah satu bidang yang tidak didesentralisasi adalah fiskal dan moneter. Pemerintah daerah hanya diberikan kewenangan dalam mengalokasikan pembiayaannya, dengan tuntutan dan tuntunan “berbasis kinerja”. Efisiensi dan efektivitas pengelolaan keuangan daerah seakan menjadi aksioma dalam pilihan rasional bagi pemerintah daerah otonom, mengingat keleluasaan dalam alokasi pengeluaran diperhadapkan dengan keterbatasan kewenangan dalam penerimaan daerah. Keterbatasan dalam mengkreasikan penerimaan daerah, secara normatif untuk mencegah dan sebagai langkah antisipatif pada besarnya beban penerimaan daerah yang ditanggung oleh masyarakat umum. Dalam perspektif penerimaan yang terbatas tersebut dan perspektif keleluasaan alokasi pengeluaran daerah tersebut, men-justifikasi semakin signifikannya kehadiran manajemen keuangan daerah yang bukan hanya memiliki sistem pengelolaan yang terpadu, tetapi juga fisik kelembagaan yang kapabilitasnya dapat dipertanggungjawabkan, sebagaimana amanat UU No. 17/2003 yang merekomendasikan untuk perlunya setiap pemerintah daerah membentuk semacam pengelola keuangan daerah sebagai Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang secara terpadu, integratif dan menyeluruh mengelola keuangan daerah, baik dari sisi penerimaan maupun dari sisi pengeluaran daerah dan pelaporannya.

DAFTAR PUSTAKA
Blakely, Edward J., Ted K. Bradshaw, 2002, Planning Local Economic Development:
Theory and Practice, Sage Publications, London, NewDelhi.

Departemen Dalam Negeri, 2002, Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29/2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan AnggaranPendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan BelanjaDaerah.

Devas, Nick, 1989. Financing Local Government in Indonesia, Southeast Asia Series, Number 84, Athens, Ohio.

Davey, Kenneth, 1988, Pembiayaan Pemerintah Daerah: Praktek-Praktek Internasional dan Relevansinya Bagi Dunia Ketiga, UI-Press, Jakarta.

Goldsmith, Arthur A., 1996, Business, Government, Society: The Global Political Economy, Time Mirror Higher Education Group, Chicago USA.

Guize, E.C., 1996, Managing a Local Governance Awards Program: The Galing Pook Experience, Dalam The Asian Manager Vol. IX No. 4, Asian Institute of Management and The Federation od Asian Institute ofManagement Alumni Associations.

Landau, Daniel. 1983. Government Expenditure and Economic Growth: A Cross-Country Study. Southern Economic Journal.

Lopez, Tomas B., 1996, The Social Marketplace: Where Government, Business, and Development Institutions Compete, Dalam The Asian Manager Vol. IX No. 4, Asian Institute of Management and The Federation od Asian Institute of Management Alumni Associations.

McKenzie, Richard B. 1980. Economic Issues in Public Policies. McGraw-Hill Book Company, New York.

Morato, Eduardo A., 1996, Redefining the Global Development Paradigm, Dalam The Asian Manager Vol. IX No. 4, Asian Institute of Management and The Federation of Asian Institute of Management Alumni Associations.

Osborne, David, Gaebler, Ted, 1993, Reinventing Goverment: How The Entrepreneurial Spirit Is Transforming the Public Sector, Plume, New York.

Pemerintah RI, 1999, Undang-Undang No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah.

____________, 1999, Undang-Undang No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerinta Pusat dan Daerah.

___________, 2003, Undang-Undang No.1 7/2003 tentang Keuangan Negara.

____________, 2000, Peraturan Pemerintah No. 105/2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Ujung Pandang

Sallatu, A. Madjid, 1995, Pengembangan Kelembagaan Dispenda (Institutional Development): Fungsi Penerimaan atau Fungsi Keuangan Daerah, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Ekonomika, Edisi II, Ujungpandang.

____________, 1997. Pendanaan dan Otonomi Daerah, Tidak Dipublikasikan, Ujungpandang.

Shah, Anwar, and Qureshi, Zia, 1994. Intergovermental Fiscal Relations In Indonesian: Issues and Reform Options, The World Bank, Washington D.C.

Apakah Kybernologi itu?

Lahirnya Kybernologi

Menurut Pasal 3 Deklarasi Umum Tentang Hak-Hak Asasi Manusia, “Setiap Orang Berhak Atas Kehidupan, Kebebasan, dan Keselamatan Sebagai Individu” warga suatu masyarakat. Untuk bisa hidup , manusia membutuhkan alat atau bahan yang mendukung kehidupannya, seperti makanan, minuman, udara segar, ketertiban, keadilan, kedamaian, dan sebagainya. Alat atau bahan itu disebut ber nilai (bermanfaat, berguna, bermakna). Pada zaman dahulu kala, nilai diperoleh langsung dari alam, tetapi lama-kelamaan harus melalui usaha pengolahan sumberdaya, penggunaan teknologi, dan penciptaan. Usaha manusia untuk memenuhi kebutuhannya akan nilai di dalam suatu masyarakat, disebut subkultur ekonomi (SKE). SKE berfungsi membentuk, menambah dan mencipta nilai. Sayang sekali, timbul masalah. Kualitas sumberdaya, distribusi (pemilikan), kesempatan, dan kemampuan mengolahnya berbeda-beda dan tidak merata, sehingga pada suatu saat di mana-mana terdapat ketimpangan (kesenjangan). Ada masyarakat yang memiliki nilai dalam jumlah besar (sangat kaya) dan ada yang nyaris tidak memilikinya (sangat miskin). Kondisi ini oleh naluri kemanusiaan dan persaudaraan dianggap tidak adil. Konflik sosial yang berlarut-larut yang merusak masyarakat itu sendiri sering terjadi.

Untunglah, masyarakat memiliki naluri penyesuaian dan penyelamatan diri melalui berbagai cara untuk mengatasi masalah di atas, antara lain dengan membuat dan menyepakati norma-norma sosial yang mengatur perilaku warga masyarakat sehingga ketimpangan nilai semakin berkurang dan rasa keadilan sosial antar warga masyarakat meningkat. Tetapi rupanya kesepakatan saja tidak cukup. Norma-norma sosial perlu ditaati, ditegakkan, dan jika perlu dipaksakan dengan kekuatan bahkan kekerasan. Upaya penegakan sebagian norma-norma sosial tersebut melahirkan subkultur lain yang disebut subkultur kekuasaan (SKK). Pelaku atau pemeran SKK adalah pemerintah ( government ). Pada dasarnya, SKK berperan (berfungsi) mengontrol sumber-sumber dan pengelolaannya, agar bisa menghasilkan nilai maksimal tanpa merusak sumber-sumber itu sendiri, untuk kemudian diredistribusi kepada warga masyarakat. Tetapi karena pemangku kekuasaan cenderung menempuh jalan pintas yang disebut korupsi dan mudah menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan dirinya sendiri, maka kekuasaan itu harus dikontrol.

Siapa atau lembaga apa yang berfungsi mengontrol kekuasaan?

“Jangan beli kucing dalam karung,” demikian kearifan sosial kita. “Pembeli kucing” yang membuka karung pada saat transaksi terjadi (di hilir) adalah masyarakat dalam kualitasnya sebagai pelanggan . Sudah barang tentu, jauh sebelum ada larangan itu, ada aturan (di hulu) yang menyatakan bahwa penjual harus membuka karungnya. Pembuat aturan itu adalah masyarakat juga tetapi dalam kualitasnya sebagai konstituen . Jadi masyarakat berfungsi mengontrol SKK di hulu melalui pembuatan peraturan, dan di hilir melalui pemantauan dan evaluasi (monev). Konsekuensinya, masyarakat menuntut pertanggungjawaban SKK atas penyelenggaraan fungsi-fungsinya. Kepercayaan masyarakat kepada SKK bergantung pada pertanggungjawaban tersebut. Usaha masyarakat untuk berperan mengontrol SKK di hulu dan di hilir, yang berdampak pada tingkat kepercayaannya kepada pemerintah, membentuk subkultur sosial (SKS) di dalam masyarakat.

Interaksi antar tiga subkultur itu disebut pemerintahan ( governance ), bukan “kepemerintahan.” Interaksi itu menghasilkan kinerja pemerintahan. Jika kinerja pemerintahan itu berkualitas good , maka pemerintahan yang bersangkutan disebut good governance . Jika tidak, bad governance .

Interaksi berulang dan terjadi di mana-mana antar subkultur masyarakat membentuk fenomena pemerintahan . Fenomena itu merupakan kancah pengkajian bersama ( common platform , landasan bersama, objek materia bersama) berbagai ilmupengetahuan. Landasan bersama itu mempunyai banyak sudut (sudutpandang). Setiap pengkajian (penelitian) mendarat pada sudut yang berbeda-beda yang disebut objek forma pengkajian. Ilmu Politik misalnya mendarat pada sudut kekuasaan. Bestuurskunde yang masuk di Indonesia sejak awal abad ke-20, sekitar medio abad yang sama didaratkan pada sudut Ilmu Politik, sehingga sampai sekarang apa yang disebut “Ilmu Pemerintahan” oleh banyak kalangan dianggap (hanya) merupakan salah satu kajian Ilmu Politik, atau sebagian aksiologinya.

Bestuurskunde (Belanda besturen ) yang kemudian berkembang menjadi Bestuurswetenschap dan Bestuurswetenschappen , di negeri asalnya yaitu Belanda, tidak mendarati fenomena pemerintahan pada sudut kekuasaan, tetapi pada sudut manusia: “Ilmu Pemerintahan adalah ilmupengetahuan yang bertujuan memimpin hidupbersama manusia ke arah kebahagiaan yang sebesar-besarnya, tanpa merugikan orang lain secara tidak sah,” demikian van de Spiegel sebagaimana dikutip oleh G. A. Van Poelje dalam bukunya Algemene Inleiding tot de Bestuurskunde (1953). Bangunan ( body-of-knowledge , BOK) Bestuurswetenschap di masa itu berderajat akademik tertinggi sehingga kepada lulusan program pendidikannya dianugerahi gelar Doktor.

Bencana nasional yang terjadi pada tahun 1965 membawa kesadaran baru bahwa ada yang tidak beres dalam penyelenggaraan negara. Kesadaran baru ini mendorong usaha pendaratan-kembali Bestuurswetenschap di Indonesia pada sudutpandang yang berbeda, tidak pada kekuasaan seperti di masa lalu tetapi pada (ke-) manusia (-an), seperti habitat yang melahirkannya di negeri asalnya, dan merekonstruksi hasil-hasilnya. Rekonstruksi tersebut berlangsung senyap, tidak gegap, tetapi pasti, terlebih setelah bencana nasional tahun 1998, disusul bencana nasional 2004-2005. Hasil rekonstruksi buah pendaratan itu pada tgl 8 Mei 2000 diberi nama Kybernologi (dari bahasa Greek kybernán , Inggeris steering , Belanda besturen , mengemudi, diberi akhiran –logy , -logi). Secara formal, Kybernologi adalah bangunan pengetahuan ( body-of-knowledge ) hasil rekonstruksi buah pendaratan Bestuurskunde, Bestuurswetenschap , dan Bestuurswetenschappen di bumi Indonesia pada sudutpandang kemanusiaan, tidak pada sudutpandang kekuasaan.

PERAN PRESIDEN SEBAGAI KEPALA PEMERINTAHAN

A. Pendahuluan

Diskursus mengenai lembaga-lembaga negara di Indonesia selalu menjadi bahasan yang menarik, UUD 1945 belum memberikan batasan yang jelas antara wewenang lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif. Fenomena yang terjadi selama empat dekade terakhir ini bahkan menunjukkan kecenderungan pengaturan sistem bernegara yang lebih berat ke lembaga eksekutif. Posisi Presiden sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan yang tidak jelas batasan wewenangnya semakin mendorong kecenderungan ini ke arah yang negatif. UUD 1945 memberikan wewenang tertentu kepada presiden dalam menjalankan tugas pemerintahan.
Namun demikian pemberian wewenang tersebut tidak diikuti dengan batasan-batasan terhadap penggunaannya. Soekarno, mantan presiden RI, dalam rapat pertama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 18 Agustus 1945 menyatakan bahwa UUD 1945 adalah UUD Kilat, ini dikarenakan mendesaknya keinginan untuk memproklamasikan kemerdekaan pada saat itu sehingga infrastruktur bagi sebuah negara yang merdeka harus segera disiapkan. Hal ini menyebabkan UUD 1945 menjadi UUD yang singkat dan sangat interpretatif. Upaya politik untuk tidak mengadakan perubahan terhadap UUD 1945, sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945 sendiri (Pasal 3 juncto Aturan Peralihan, butir 2), juga tidak diikuti oleh upaya lembaga legislatif untuk membuat ketentuan lebih lanjut terhadap pasal-pasal dalam UUD 1945. Tidak banyak pasal dalam UUD 1945 yang telah diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan di bawahnya dan pasal-pasal yang mengatur mengenai wewenang presiden sebagai kepala negara merupakan beberapa di antaranya. Dalam menjalankan kekuasaannya, presiden diberikan kekuasaan yang sangat besar oleh UUD 1945, yaitu antara lain tercantum dalam Pasal 10 sampai Pasal 15. Dalam pelaksanaannya, ternyata kekuasaan tersebut telah banyak menimbulkan berbagai masalah yang sampai saat ini masih diwarnai pendapat pro dan kontra seputar penggunaannya.
Hal ini dapat disebabkan karena tiga hal. Pertama, besarnya kekuasaan presiden tersebut tidak diikuti dengan mekanisme dan pertanggungjawaban yang jelas. Padahal hak-hak tersebut sifatnya substansial bagi kehidupan bangsa sehingga memerlukan adanya kontrol, misalnya pemilihan duta dan konsul, penentuan susunan kabinet, wewenang untuk menyatakan perang, dan lain-lain. Kedua, fenomena ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah telah sedemikian besarnya sehingga menimbulkan sensitivitas dalam tubuh masyarakat terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya presiden. Ketiga, berkaitan erat dengan yang kedua, sensitivitas ini juga didorong oleh tumbuhnya kesadaran masyarakat dengan sangat cepat dengan dipicu oleh atmosfir reformasi yang tengah berjalan pada saat ini.
Diskusi dan kajian tentang negara di Indonesia pada umumnya didominasi oleh pendapat kuat yang beranggapan bahwa negara merupakan sebuah lembaga netral, tidak berpihak, berdiri di atas semua golongan masyarakat, dan mengabdi pada kepentingan umum. Kepercayaan yang tulus pada hal ideal ini mungkin yang mendasari pendapat-pendapat di atas, yang oleh para pejabat negara ini kemudian diturunkan menjadi jargon-jargon demi kepentingan umum pembangunan untuk seluruh masyarakat dan lain sebagainya.
Namun pada kenyataan di lapangan, terjadi banyak hal yang tidak membuktikan anggapan ideal tersebut. Negara yang identik dengan kekuasaan, sebagaimana dikemukakan oleh Lord Acton, cenderung untuk korup, dalam arti menyimpangi kekuasaanya /(abuse of power)./ Negara ternyata juga memiliki kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan sendiri yang terkadang justru merugikan kepentingan umum.
Kekuasaan negara yang tidak terkontrol di Indonesia sebagai akibat dari terpusatnya kekuasaan itu pada satu orang dan segala implikasi negatifnya, tampaknya mengharuskan bangsa ini untuk mengkaji ulang konsep kekuasaan presiden yang sangat besar tesebut. Pandangan negara netral dan paham integralistik, yang biasanya melegitimasi konsep tersebut, sepertinya juga tidak dapat lagi dipergunakan untuk menjawab kenyataan-kenyataan empiris yang terjadi di negara ini. Seluruh hal tersebut, ditambah dengan adanya tuntutan demokratisasi di segala bidang yang sudah tidak mungkin ditahan lagi, mengartikan bahwa sudah saatnya kekuasaan presiden yang sangat besar harus dibatasi. Studi ini ingin menjadi bagian dari diskurus tentang kekuasaan Presiden RI, khususnya kekuasaannya sebagai Kepala Negara. Dalam studi ini dipaparkan dan dianalisis bentuk-bentuk kekuasaan Presiden sebagai Kepala Negara, yang secara normatif didasarkan pada UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

B. Pokok Permasalahan
Sehubungan dengan apa yang telah dijelaskan diatas maka dalam penulisan ini terdapat beberapa permasalahan yang dianggap mendasar bagi pelaksanaan kekuasaan presiden tersebut, yaitu: Apa saja macam kekuasaan presiden RI dalam hukum positif Indonesia berdasarkan UUD 1945 pasca amandemen?
Sistem dan mekanisme apa yang dibutuhkan untuk mengurangi kecenderungan penyimpangan kekuasaan dari pelaksanaan kekuasaan tersebut?
· Apa saja bentuk kekuasaan presiden RI dalam hukum positif Indonesia serta bagaimana mekanisme pelaksanaannya selama ini?
· Sistem dan mekanisme apa yang dibutuhkan untuk mengurangi kecenderungan penyimpangan kekuasaan dari pelaksanaan kekuasaan tersebut? Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Memberikan gambaran tentang konsep-konsep dan dasar hukum kekuasaan presiden RI.
· Menganalisis secara konseptual mekanisme pelaksanaan kekuasaan presiden RI yang terdapat dalam hukum poistif di Indonesia.
· Mengemukakan rekomendasi terhadap makanisme pelaksanaan kekuasaan presiden RI di masa mendatang

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah: Memberikan gambaran tentang konsep-konsep dan dasar hukum kekuasaan presiden RI. Menganalisis secara konseptual mekanisme pelaksanaan peran dan kekuasaan presiden RI yang terdapat dalam hukum positif di Indonesia. Mengemukakan rekomendasi terhadap batasan-batasan pelaksanaan peran dan kekuasaan presiden RI di masa mendatang.

D. Tinjauan Pustaka
1. Presiden dan Wakil Presiden Sebagai Institusi
Dalam masyarakat dimana tradisinya bernegara dan berpemerintahan belum tumbuh secara rasional dan impersonal, institusi politik dan hukumnya cenderung berhimpitan dengan konsep ketokohan yang bersifat personal. Dalam keadaan demikian, semua keputusan politik sebagian terbesar dipengaruhi oleh karakter persona atau kepribadian serta perilaku pemimpin yang menentukan keputusan tersebut. Namun, dalam rangka cita-cita Negara Hukum (Rechtsstaat) yang diamanatkan dalam UUD 1945 sebagai konstitusi proklamasi, kecenderungan-kecenderungan mengenai praktek-praktek sistem kepemimpinan persona tersebut tidak dapat dipertahankan. Dalam doktrin Negara Hukum, berlaku prinsip bahwa pemimpin yang sebenarnya bukanlah orang, melainkan hukum yang dilihat sebagai suatu sistem. Karena itu, doktrin yang dikenal mengenai ini adalah “the rule of law, and not of man”.
Sehubungan dengan itu, maka jabatan Presiden dan Wakil Presiden haruslah dipandangan sebagai suatu institusi. Memang benar di dalamnya tersangkut pula soal-soal yang berkenaan dengan karakter, sikap dan perilaku manusianya atau ‘the man behind the gun’. Dengan perkataan lain dalam ‘institusi’ terkait pula persoalan ‘tradisi’ yang perlu terus menerus dibina dan dikembangkan ke arah kondisi yang makin rasional dan impersonal. Karena itu, diperlukan perangkat peraturan perundangan-undangan sebagai instrumen pengaturan normatif mengenai institusi kepresidenan itu. Melalui jalan pengaturan hukum dan pembinaan terus menerus yang disertai oleh ketulusan dan keteladanan serta kesungguhan pemimpin untuk menegakkan hukum dan sistem hukum itulah, kita dapat mengharapkan proses pelembagaan sistem hukum dan sistem kenegaraan kita dapat terus ditingkatkan kualitasnya di masa-masa mendatang. Betapapun juga, semua ide luhur kenegaraan, ide demokrasi dan gagasan negara hukum haruslah dilembagakan dalam institusi, sehingga setiap keputusan yang diambil merupakan keputusan institusi yang tidak diserahkan hanya pada kebijaksanaan tokoh pemimpin yang kebetulan menduduki jabatan Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam sistem kekuasaan modern, tidak dapat diterima logika dan akal sehat jika keputusan hanya diserahkan pada kehendak pribadi seorang yang menduduki sesuatu jabatan tertentu. Betapapun luhurnya budi seseorang, sekali ia menduduki jabatan kekuasaan umum, maka kepadanya terkena hukum besi dalam kekuasaan, yaitu: ‘power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely’. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain, dalam setiap negara modern, haruslah diadakan pengaturan dan pembatasan kekuasaan dengan hukum. Bahkan hukumlah yang harus diterima sebagai satu-satunya pengertian mengenai sistem kepemimpinan yang paling objektif, rasional dan impersonal. Pemimpin kita yang sesungguhnya adalah ‘the rule of law, and not of man’. Dengan pengertian demikian, maka tokoh pemimpin boleh saja berganti, tetapi sistemnya tidak. Kepemimpinan sistem ini pulalah yang akan terus menjamin keberadaan kita sebagai sebuah bangsa dan negara. Dalam sistem demokrasi yang kita bangun sekarang, kita memang tidak dapat lagi mengharapkan peranan kepemimpinan persona untuk menjamin persatuan dan kesatuan bangsa seperti pernah diperankan oleh para tokoh pemimpin bangsa dan negara kita di masa lalu. Presiden di masa yang akan datang tidak bisa lagi dianggap sebagai tokoh simbolik yang dapat berfungsi efektif sebagai Bapak Pemersatu Bangsa. Presiden dan Wakil Presiden kita di era demokrasi dewasa ini tidak lebih merupakan tokoh politik biasa, yang untuk sebagian cenderung hanya berpikir mengenai kepentingannya sendiri atau kepentingan kelompok politiknya sendiri-sendiri.
Oleh sebab itu, satu-satunya jalan untuk menghalangi agar institusi kepresidenan kita tidak larut dalam persoalan-persoalan kepentingan pribadi atau kelompok, ialah dengan membatasi dan mengaturnya sebagai suatu institusi yang diikat oleh norma-norma hukum yang lugas, rasional dan impersonal. Jika, misalnya, Presiden ataupun Wakil Presiden, karena kebiasaan atau karakter pribadinya menunjukkan ‘performance’ yang cenderung mempribadikan urusan-urusan atau persoalan institusi kepresidenan, maka hal itu jelas dapat dinilai sebagai pelanggaran terhadap amanat konstitusi. Karena itulah penting sekali artinya bagi setiap Negara Hukum modern yang bercita-cita menegakkan supremasi hukum dan sistem hukum, untuk menuangkan segala ketentuan mengenai kekuasaan institusi kepresidenan itu dalam dokumen-dokumen hukum yang resmi.
2. Bentuk Hukum Pengaturan Lembaga Kepresidenan
Karena sentralnya kedudukan cabang kekuasaan eksekutif yang dipimpin oleh Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, biasanya selalu diatur secara agak rinci dalam konstitusi. Bahkan, karena pada hakikatnya suatu naskah konstitusi itu memang dimaksudkan sebagai dokumen hukum yang bersifat membatasi kekuasaan organ pemerintahan, maka materi pengaturan mengenai soal ini biasanya selalu lebih rinci dibandingkan dengan pengaturan cabang-cabang kekuasaan lainnya. Itu sebabnya maka dalam perumusan UUD 1945, ketentuan yang mengatur mengenai kekuasaan pemerintahan negara, lebih banyak materinya dibandingkan dengan pengaturan mengenai MPR/DPR dan Mahkamah Agung. Oleh karena itu, hal-hal yang perlu diatur berkenaan dengan reformasi kekuasaan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan yang dalam UUD 1945 dilembagakan dalam institusi Presiden dan Wakil Presiden hendaknya dimuat konkrit dalam konstitusi dalam rangka agenda perubahan UUD 1945.
Jika pengaturan yang ditetapkan dalam naskah konstitusi dianggap masih belum mencukupi, maka selama kedudukan Ketetapan MPR masih diakui dalam hukum positif kita dewasa ini, maka ketentuan-ketentuan yang lebih rinci berkenaan dengan berbagai aspek kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden itu sebaiknya ditetapkan dalam bentuk Ketetapan MPR. Berdasarkan ketentuan TAP No. III/MPR/2000, kedudukan Ketetapan MPR itu diakui sebagai dokumen hukum tertinggi di bawah UUD. Sesuai dengan bunyi Penjelasan UUD 1945, kedudukan Ketetapan MPR dan materi UUD sama-sama tercakup dalam pengertian UUD 1945 mengenai haluan negara, yaitu dokumen yang berisi haluan-haluan yang bersifat pokok dalam rangka penyelenggaraan kehidupan bernegara. Materi-materi pokok itu ada yang ditetapkan dalam UUD dan ada pula yang ditetapkan oleh MPR sebagai tambahan terhadap materi yang tercantum dalam naskah UUD beserta naskah Perubahannya.
Namun demikian, dalam perkembangan praktek penyelenggaraan negara selama ini, tidak dapat diabaikan berkembang pula pemikiran untuk menetapkan suatu UU yang bersifat khusus yang mengatur mengenai penyelenggaraan tugas-tugas institusi kepresidenan. Gagasan semacam ini dapat dibandingkan dengan adanya UU yang tersendiri yang mengatur mengenai lembaga-lembaga tinggi negara yang sederajat dengan Presiden, seperti UU tentang Mahkamah Agung, UU tentang Dewan Pertimbangan Agung, dan UU tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Karena UU mengenai lembaga tinggi negara seperti itu sudah ada, maka dapat dimengerti bahwa gagasan untuk membuat UU tentang Lembaga Kepresidenan juga dapat saja dikembangkan. Saya sendiri tidak berkeberatan terhadap ide semacam ini, asalkan penetapan UU yang bersifat tersendiri itu memang dianggap perlu, misalnya karena materi ketentuan UUD dan Ketetapan MPR mengenai hal itu dinilai belum mencukupi, dan masih diperlukan rincian ketentuan mengenai berbagai aspek pelaksanaan tugas dan kewenangan Presiden dan Wakil Presiden itu lebih lanjut dalam bentuk Undang-Undang. Seperti diketahui dalam rancangan perubahan Pasal 15A UUD 1945, masih tercantum ketentuan yang berbunyi: “Ketentuan lebih lanjut mengenai kepresidenan diatur dengan UU”. Namun, sebelum ide pembentukan UU tentang Lembaga Kepresidenan itu dikembangkan, sebaiknya, ketentuan-ketentuan mengenai Presiden dan Wakil Presiden yang perlu diatur dalam rangka perubahan materi UUD 1945 dan Ketetapan MPR diselesaikan dulu sebagaimana mestinya.
Memang sebaiknya, ketentuan mengenai kekuasaan lembaga kepresidenan dan lembaga parlemen yang mencakup kedudukan dan peranan MPR dan DPR serta Presiden dan Wakil Presiden dicantumkan secara rinci dalam naskah UUD dan naskah Perubahan UUD, atau setidak-tidaknya dalam bentuk Ketetapan MPR, bukan dalam naskah UU yang tingkatannya lebih rendah. Alasan pertama, karena proses pembuatan dan penetapan atau pengesahan UU itu selalu melibatkan peran parlemen dan lembaga kepresidenan. Konkritnya, setiap pembuatan atau pembentukan UU selalu melibatkan peran Presiden dan DPR. Oleh karena itu, sebaiknya, Presiden dan DPR tidak diberikan kewenangan untuk mengatur mengenai kekuasaannya sendiri. Dengan demikian dianggap tidak perlu adanya UU tersendiri mengenai Presiden, dan begitu pula UU tentang DPR. Kedua, seperti dikemukakan di atas, hakikat konstitusi itu adalah dokumen hukum dasar yang dimaksudkan untuk membatasi kekuasaan pemerintah. Dalam sejarah konstitusi di Eropah dan perkembangan aliran konstitusionalisme modern, ide konstitusi itu memang muncul dan berkembang dalam rangka membatasi kekuasaan raja-raja dzalim di masanya. Itu sebabnya, sebagian besar materi yang diatur di dalamnya memang menyangkut ketentuan-ketentuan yang bersifat membatasi kekuasaan pemerintahan. Karena itu, jika dalam naskah konstitusi, naskah amandemen konstitusi dan naskah Ketetapan MPR yang bersifat melengkapi, sudah mencukupi kebutuhan untuk mengatur dan membatasi kekuasaan lembaga kepresidenan, dapat dikatakan bahwa kita tidak lagi memerlukan naskah UU yang tingkatannya lebih rendah, seperti yang diatur dalam rancangan perubahan Pasal 15A UUD 1945.
Akan tetapi, sekali lagi, dapat ditegaskan bahwa sekiranya setelah UUD dan Perubahannya diselesaikan, dan Ketetapan MPR mengenai hal itu juga sudah cukup lengkap, masih juga diperlukan pengaturan-pengaturan yang bersifat teknis berkenaan dengan pelaksanaan tugas-tugas kepresidenan, maka dapat saja ditetapkan suatu UU tersendiri yang mengaturnya. Dalam hal ini, dapat dipertimbangkan adanya dua kemungkinan pola pengaturan mengenai lembaga kepresidenan itu dikembangkan. Pertama, pengaturan secara parsial atau sektoral, misalnya, UU tentang Hak Keuangan Presiden, jadi bukan mengenai UU tentang Lembaga Kepresidenan dalam arti yang utuh. Kedua, pengaturan yang bersifat implementatif yang menyangkut keseluruhan aspek mengenai materi yang sudah diatur dalam UUD dan Ketetapan MPR. Jika suatu hari nanti, lembaga MPR tidak ada lagi atau setidak-tidaknya kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dihapus, maka otomatis kedudukan Ketetapan MPR akan turut dipersoalkan keberadaannya sebagai bentuk peraturan perundang-undangan di bawah UUD. Dalam keadaan demikian, mudah dimengerti bahwa untuk melaksanakan ketentuan UUD yang tidak mudah untuk diubah setiap waktu, dibutuhkan pengaturan yang bersifat pelaksanaan dalam bentuk UU. Namun, untuk sementara waktu sekarang ini, dapat dikatakan sudah cukuplah jika berbagai ketentuan mengenai lembaga kepresidenan itu dituangkan dalam naskah UUD, naskah Perubahan UUD, atau dalam bentuk Ketetapan MPR yang khusus mengatur hal itu.

3. Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan

Dalam sistem yang dianut oleh UUD 1945, Presiden Republik Indonesia mempunyai kedudukan sebagai Kepala Negara dan sekaligus Kepala Pemerintahan. Memang ada kedudukan lain yang juga disebut dalam UUD 1945, yaitu dalam Pasal 10 yang menyatakan bahwa “Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara”. Kedudukan ini biasa disebut sebagai Panglima Tertinggi atas ketiga angkatan bersenjata atau ketiga angkatan Tentara Nasional Indonesia. Selanjutnya dalam Pasal 10A (baru), dinyatakan pula bahwa “Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Kepolisian Negara Republik Indonesia”.
Kewenangan-kewenangan yang ditetapkan dalam Pasal-pasal 10, 11, 12, 13, 14, dan Pasal 15 UUD 1945 biasanya dikaitkan dengan kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara. Pasal 11 mengatur mengenai kewenangan Presiden untuk menyatakan perang dan damai serta kewenangan untuk membuat perjanjian dengan negara lain. Pasal 12 berkenaan dengan kewenangan menyatakan keadaan bahaya, Pasal 13 berkenaan dengan pengangkatan dan penerimaan Duta Besar dan Konsul. Pasal 14 mengenai pemberian grasi dan rehabilitasi, serta pemberian amnesti dan abolisi; dan Pasal 15 mengenai pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan lainnya. Sesuai hasil Perubahan Pertama UUD 1945, pelaksanaan kewenangan Presiden tersebut di atas secara berturut dipersyaratkan diperhatikannya pertimbangan DPR, pertimbangan MA, ataupun diharuskan adanya persetujuan DPR, dan bahkan diharuskan adanya UU terlebih dahulu yang mengatur hal itu. Pelaksanaan kewenangan yang diatur dalam Pasal 11 memerlukan persetujuan DPR. Pelaksanaan kewenangan yang diatur dalam Pasal 12 dan Pasal 15 mempersyaratkan adanya UU mengenai hal itu lebih dahulu. Pelaksanaan kewenangan dalam Pasal 13 memerlukan pertimbangan DPR yang harus diperhatikan oleh Presiden. Sedangkan pelaksanaan kewenangan dalam Pasal 14 dibagi dua, yaitu untuk pemberian grasi dan rehabilitasi diperlukan pertimbangan MA, sedangkan pemberian amnesti dan abolisi diperlukan pertimbangan DPR.
Memang banyak yang dapat dipersoalkan mengenai materi perubahan UUD 1945 yang menyangkut pelaksanaan Pasal 10 sampai dengan Pasal 15 tersebut. Misalnya, untuk apa DPD atau kepada DPR ditumpukkan tambahan-tambahan kewenangan yang justru akan sangat merepotkan DPR secara teknis. Misalnya, untuk apa DPR memerlukan keterlibatan untuk memberikan pertimbangan dalam pengangkatan Duta Besar dan Konsul serta penerimaan Duta Besar dan Konsul negara sahabat seperti di tentukan dalam Pasal 13 baru. Perubahan seperti ini justru akan menyulitkan baik bagi pemerintah maupun bagi DPR sendiri dalam pelaksanaan prakteknya. Demikian pula mengenai pertimbangan terhadap pemberian amnesti dan abolisi yang diatur dalam Pasal 14 ayat (2) baru yang selama ini ditentukan perlu dimintakan kepada Mahkamah Agung, untuk apa dialihkan ke DPR. Namun demikian, terlepas dari kelemahan atau kritik-kritik di atas, semua kewenangan yang diatur dalam pasal-pasal tersebut biasanya dipahami berkaitan dengan kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara. Ada yang berhubungan dengan pelaksanaan fungsi judikatif seperti pemberian grasi dan rehabilitasi, dan ada pula yang berhubungan dengan pelaksanaan fungsi legislatif seperti misalnya pernyataan keadaan bahaya yang berkait erat dengan kewenangan Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu).
Sebenarnya, dalam kaitannya dengan fungsi legislatif, berdasarkan ketentuan UUD 1945 Pasal 5 ayat (1) lama, memang dinyatakan bahwa “Presiden memegang kekuasaan membentuk UU dengan persetujuan DPR”. Dengan ketentuan demikian, dapat dikatakan bahwa kekuasaan legislatif yang utama memang berada di tangan Presiden, baik sebagai Kepala Negara maupun Kepala Pemerintahan. Hanya saja pelaksanaan kewenangan ini tidak boleh dilakukan semena-mena, dan untuk itu diperlukan persetujuan DPR yang tingkatannya sederajat dengan Presiden. DPR bahkan berhak menolak ataupun menyetujui hanya sebagian rancangan UU yang diajukan oleh Presiden. Bahkan DPR diberi hak pula untuk berinisiatif mengajukan rancangan UU sendiri. Dalam hubungan ini, lembaga DPR dapat dikatakan lebih merupakan lembaga kontrol atau pengawas daripada lembaga legislatif dalam arti yang sebenarnya.
Akan tetapi, dalam rangka Perubahan Pertama dan Kedua UUD 1945, ketentuan demikian itu diubah secara mendasar. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) baru juncto Pasal 20 ayat (1) baru, kewenangan membentuk UU itu telah dialihkan dari tangan Presiden ke DPR. Dalam Pasal 20 ayat (1) baru, ditegaskan bahwa “DPR memegang kekuasaan membentuk UU”. Sedangkan dalam Pasal 5 ayat (1) baru dinyatakan bahwa: “Presiden berhak mengajukan rancangan UU kepada DPR”. Dengan demikian, DPR telah berubah menjadi pemegang utama kekuasaan membentuk UU. Artinya, kewenangan mengatur (regel) tidak lagi berada di tangan Presiden. Presiden kita sekarang sudah berubah menjadi pelaksana belaka (eksekutif) terhadap segala keputusan legislatif dalam bentuk UU yang ditetapkan oleh DPR, dan demikian juga segala keputusan legislatif MPR sebagai lembaga tertinggi negara, baik dalam bentuk UUD, Perubahan UUD, maupun dalam bentuk Ketetapan MPR.
Karakteristik Presiden sebagai pejabat eksekutif itu tentu haruslah berubah dari keadaan sebelumnya dimana Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif juga memegang kekuasaan legislatif dalam membentuk UU. Sejak berlakunya Perubahan Pertama dan Kedua UUD 1945 tersebut, otomatis Presiden tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengatur kepentingan umum yang berisikan materi pengaturan mengenai hak dan kewajiban warganegara. Kalaupun Presiden memerlukan untuk membuat dan menetapkan peraturan-peraturan untuk melaksanakan UU tersebut, maka kewenangannya untuk mengatur itu haruslah bersumber dari kewenangan yang lebih tinggi yang berada di tangan MPR dan DPR. Oleh karena itu, di masa mendatang tidak boleh lagi ditetapkan adanya Keputusan-Keputusan Presiden yang bersifat mandiri dengan fungsi untuk mengatur seperti dipahami selama ini. Kewenangan mengatur (regeling) terhadap kepentingan umum atau pengaturan mengenai hak dan kewajiban warganegara yang boleh ditetapkan secara mandiri oleh Presiden hanya terbatas pada hal saja, yaitu: (a) dalam hal dipenuhinya syarat untuk diberlakukannya keadaan darurat (emergency law) yang memungkinkan Presiden menetapkan Perpu, dan (b) dalam hal materi yang perlu diatur memang berkenaan dengan keperluan internal administrasi pemerintahan yang tidak berkaitan dengan kepentingan umum. Dalam hal yang terakhir ini, dikenal adanya prinsip ‘freijsermessen’ (kebebasan bertindak) yang memungkinkan Presiden dapat memiliki ruang gerak yang leluasa untuk mengadakan peraturan-peraturan kebijakan atau ‘policy rules’ (beleid regels) dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan tugas-tugas pembangunan sehari-hari. Selain kedua hal tersebut, Presiden tidak berwenang menetapkan peraturan yang bersifat mandiri dalam arti bukan dalam rangka menjalankan perintah UU ataupun menjabarkan ketentuan UU sebagai produk lembaga legislatif.
Dengan tertib berpikir demikian, kita dapat membangun paradigma yang rasional mengenai institusi kepresidenan Republik Indonesia sebagai pejabat pelaksana belaka terhadap berbagai keputusan legislatif. Bahkan, di mata hukum, lembaga kepresidenan yang berisi jabatan dan pejabat Presiden dan Wakil Presiden itu, hanyalah merupakan pelaksana dan pelaku aturan-aturan hukum, baik yang tertuang dalam UUD, TAP MPR, UU, maupun dalam berbagai peraturan perundang-undangan tingkat pelaksanaan. Hal ini sesuai pula dengan bunyi sumpah jabatan Presiden dan Wakil Presiden seperti ditentukan dalam Pasal 9 UUD 1945, yang antara lain berbunyi: “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh UUD, menjalankan segala UU dan peraturan-peraturannya dengan selurus-lurusnya, dan berbakti kepada Bangsa dan Negara”. Dalam bunyi sumpah tersebut tercantum tegas bahwa Presiden dan Wakil Presiden bersumpah ‘Demi Allah’ akan memegang teguh UUD dan menjalankan segala UU dan peraturannya dengan selurus-lurusnya. Artinya, Presiden dan Wakil Presiden telah sungguh-sungguh bersumpah atau berjanji untuk menaati segala ketentuan hukum dengan selurus-lurusnya, termasuk ketentuan yang tertuang dalam bentuk peraturan-peraturan yang ditetapkan sendiri oleh Presiden seperti PP dan Keppres. Jika Presiden tidak setuju dengan isinya, misalnya karena dianggap sudah ketinggalan zaman, maka dengan kewenangannya, Presiden dapat saja mengubah isi peraturan-peraturan itu sesuai dengan prosedur yang berlaku. Akan tetapi, sekali suatu norma aturan telah ditetapkan menjadi dokumen hukum yang berlaku sah, maka sejak saat itu Presiden diwajibkan menaati segala ketentuan yang diatur dalam peraturan tersebut.
Jika Presiden melanggar peraturan yang ditetapkannya sendiri berarti Presiden telah melanggar sumpah jabatannya sendiri. Jika Presiden melanggar sumpahnya sendiri, berarti Presiden telah melanggar jiwa dan semangat yang terkandung dalam ketentuan Pasal 9 UUD 1945 yang merupakan salah satu butir materi haluan penyelenggaraan negara yang ditentukan dalam konstitusi. Jika Presiden melanggar salah satu segi saja dari materi konstitusi, maka hal itu sudah cukup untuk menjadi alasan bagi DPR untuk menuntut pertanggungjawaban konstitusional di hadapan persidangan majelis yang khusus diadakan untuk itu. Persidangan demikian inilah yang lazim dikenal dengan sebutan Sidang Istimewa atau disebut dengan Persidangan Istimewa sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan UUD 1945.

E. Analisis
1. Deskripsi Umum Pelaksanaan Kekuasaan Presiden Di Masa Orde Baru
Dalam banyak literatur telah dinyatakan bahwa UUD 1945 memberikan kekuasaan yang besar pada Presiden RI untuk menyelenggarakan roda kenegaraan. Ismail Suny membagi kekuasaan Presiden RI berlandaskan UUD 1945 menjadi; kekuasaan administratif; kekuasaan legslatif; kekuasaan yudikatif; kekuasaan militer; kekuasaan diplomatik; dan kekuasaan darurat.
Sedangkan H. M. Ridhwan Indra dan Satya Arinanto membaginya ke dalam; kekuasaan dalam bidang eksekutif, kekuasaan dalam bidang legislatif, kekuasaan sebagai Kepala Negara, dan kekuasaan dalam bidang yudikatif. Kekuasaan presiden yang luas tersebut tercakup dalam fungsinya sebagai kepala negara, kepala pemerintahan dan sekaligus mandataris MPR. Praktek kenegaraan dan politik yang dalam sejarah mendasarkan dirinya pada UUD 1945, ternyata cenderung memanfaatkan secara negatif peluang yang diberikan UUD 1945, yaitu kekuasaan sangat besar yang terpusat pada lembaga kepresidenan.
Soekarno menjalankan kekuasaannya dengan menggunakan konsep demokrasi terpimpin. Konsep ini telah terbukti mengandung karakteristik otoritarian yang kental, dengan terpusatnya kekuasaan pemerintahan pada satu orang saja. Orde baru yang niat awal terbentuknya adalah mengoreksi segala wujud penyimpangan yang dilakukan rezim Soekarno, tenyata dalam prakteknya hanya mengubah jargon-jargon yang dikumandangkan pada masa sebelumnya, namun secara substansial sifat otoritariannya tidak berubah.
Kalau pada rezim Soekarno model pemerintahan didasarkan pada paham demokrasi terpimpin dan Manipol Usdek, maka di masa pemerintahan Soeharto jargon tersebut dibahasakan dengan paham demokrasi pancasila yang didasarkan cita negara integralistik. Apabila di masa Soekarno legitimasi pemerintahannya didasarkan pada slogan revolusi, maka di era Soeharto legitimasinya didasarkan pada slogan pembangunan dan œstabilitas politik.
Kedua hal tersebut ditujukan untuk membentuk suatu pemerintahan yang kuat (strong state), yang oleh kedua rezim tersebut dianggap sebagai prasyarat mutlak bagi berhasilnya suatu pemerintahan. Mohtar Masoed mencatat bahwa latar belakang utama terbentuknya rezim orde baru yang otoritarian adalah trauma konflik politik yang parah, baik horisontal maupun vertikal, dan terpuruknya perekonomian Indonesia pada masa kepemimpinan Soekarno. Untuk itu orde baru memilih untuk membentuk pemerintahan yang kuat. Secara konstitusional sebagaimana telah dikemukakan di atas, orde baru didukung oleh UUD 1945. Orde baru dan para pendukungnya, terutama Angkatan Darat, kemudian berhasil menempatkan pusat kekuasaan pengambilan keputusan kebijakan publik pada birokrasi yang secara langsung di komandoi oleh Presiden Soeharto.
Sekurang-kurangnya ada lima kekuasaan presiden yang tercatat dalam hukum posistif Indonesia, kekuasaan sebagai kepala pemerintahan, sebagai kepala negara, kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif, serta kekuasaan militer dan darurat. Dalam praktek politik dan ketatanegaraan selama masa orde baru, implementasi dari kekuasaan-kekuasaan tersebut menjadi instrumen yang efektif untuk mengintervensi dan mengeliminasi peranan lembaga-lembaga negara lain dalam penyelenggaraan kehidupan kenegaraan dan pemerintahan.
Kekuasaan pemerintahan yang ada pada presiden, atau biasa disebut dengan kekuasaan eksekutif, merupakan konsekuensi dianutnya sistem pemerintahan presidensil oleh UUD 1945, sebagaimana dituangkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Kekuasaan yang sangat luas ini selama pemerintahan orde baru tidak diterjemahkan lebih lanjut ke dalam bentuk-bentuk yang bersifat lebih operasional, dengan batas-batas tanggung jawab dan kewenangan yang jelas. Ketiadaan batas-batas tersebut menyebabkan Pasal 4 ayat (1) menjadi pegangan utama satu-satunya bagi kekuasaan pemerintahan ini. Kewenangan membentuk Keputusan Presiden (Keppres) yang mandiri adalah salah satu wujud kekuasaan pemerintahan yang ada pada presiden. Sebagaimana telah disinyalir oleh berbagai pakar dan penelitian, kewenangan ini cenderung mengalami penyimpangan baik secara formil maupun materil, sehingga menjadi salah satu yang signifikan pada saat ini untuk dilakukan pengkajian ulang atas kewenangan pembentukan Keppres yang mandiri oleh presiden, di samping bentuk-bentuk lain dari kekuasaan pemerintahan lainnya. Kekuasaan sebagai kepala negara oleh beberapa pakar hukum tata negara dikonsepkan secara berbeda-beda. Padmo Wahjono menyatakan kekuasaan presiden sebagai kepala negara secara sempit, sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 Pasal 10, 11, 12, 13, 14, 15 dan peraturan perundang-undangan dalam hal pengangkatan-pengangkatan, adalah kekuasaan/kegiatan yang bersifat administratif, karena didasarkan atau merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan atau advis suatu lembaga tinggi legara lainnya. Jadi bukan hak prerogatif yang mandiri.
Dalam kenyataannya, selama pemerintahan orde baru, kewenangan yang hanya bersifat adminsitratif ini cukup berpengaruh terhadap jalannya praktek politik dan kenegaraan di Indonesia. Pengangkatan hakim-hakim, anggota-anggota MPR dan DPR, serta jabatan-jabatan penting lainnya, merupakan ajang seleksi politik bagi orang-orang yang akan memasuki wilayah kekuasaan negara. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa orang-orang yang berada di lingkar luar kekuasaan sangat sulit untuk menduduki suatu jabatan tertentu dalam lembaga-lembaga negara dan pemerintahan. Oleh karena itu, lembaga-lembaga yang harusnya melakukan fungsi kontrol, tidak dapat bertindak secara optimal bahkan mandul. Kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif serta kekuasaan militer dan darurat, merupakan tambahan dari kekuasan presiden yang konvensional.
Secara konseptual, ketiga kekuasaan yang langsung diberikan oleh UUD 1945 ini tidak dilakukan secara mandiri oleh presiden, namun pada taraf pelaksanaan tampak kekuasaan presiden begitu dominan, terutama dalam bidang pembentukan undang-undang dan dalam kedudukannya sebagai penguasa tertinggi militer. Legitimasi konstitusi saja tampaknya tidak cukup bagi orde baru. Untuk menghindari terulangnya keadaan di masa orde lama, orde baru secara sistematis berusaha memusatkan kekuasaan dengan melemahkan institusi-institusi yang seharusnya dapat menjadi lembaga kontrol yang mengimbangi kekuasaan presiden yang dominan. Institusi-institusi tersebut hampir merupakan seluruh bagian dari sistem kenegaraan di Indonesia.
Mulai dari lembaga tertinggi dan tinggi negara, infrastruktur politik, pers, infrastruktur hukum sampai instritusi-institusi yang ada di dalam masyarakat hingga ruang lingkup terkecil, tak lepas dari intervensi kekuasaan. Kedudukan birokrasi yang dominan ini didukung oleh unsur-unsur yang merupakan sumber kekuasaannya, yaitu kerahasiaan, monopoli informasi, keahlian teknis dan status sosial yang tinggi. Selama masa kepemimpinan Soeharto, unsur-unsur inilah yang kemudian menjadikan rezim yang dipimpinnya hampir steril dari kontrol lembaga lain, dan justru menjadi dasar bagi fungsi pengendalian atas masyarakat. Jadi cukup jelas sebenarnya, kekuasaan presiden yang besar yang diberikan oleh UUD 1945 selama masa keberlakuannya, cenderung dimanfaatkan oleh rezim yang berkuasa untuk kepentingan-kepentingan politiknya sendiri. Kekuasaan Presiden ini kemudian hanya menjadi instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan golongan tertentu yang pragmatis sifatnya dan secara empiris selalu mengorbankan, atau paling tidak mengeliminasi, kepentingan demokratisasi di Indonesia.
C. Deskripsi Umum Pelaksanaan Kekuasaan Presiden Di Masa Orde Baru* Dalam banyak literatur telah dinyatakan bahwa UUD 1945 memberikan kekuasaan yang besar pada Presiden RI untuk menyelenggarakan roda kenegaraan. Ismail Suny membagi kekuasaan Presiden RI berlandaskan UUD 1945 menjadi; kekuasaan administratif; kekuasaan legslatif; kekuasaan yudikatif; kekuasaan militer; kekuasaan diplomatik; dan kekuasaan darurat. Sedangkan H. M. Ridhwan Indra dan Satya Arinanto membaginya ke dalam; kekuasaan dalam bidang eksekutif, kekuasaan dalam bidang legislatif, kekuasaan sebagai Kepala Negara, dan kekuasaan dalam bidang yudikatif. Kekuasaan presiden yang luas tersebut tercakup dalam fungsinya sebagai kepala negara, kepala pemerintahan dan sekaligus mandataris MPR. Praktek kenegaraan dan politik yang dalam sejarah mendasarkan dirinya pada UUD 1945, ternyata cenderung memanfaatkan secara negatif peluang yang diberikan UUD 1945, yaitu kekuasaan sangat besar yang terpusat pada lembaga kepresidenan. Soekarno menjalankan kekuasaannya dengan menggunakan konsep demokrasi terpimpin. Konsep ini telah terbukti mengandung karakteristik otoritarian yang kental, dengan terpusatnya kekuasaan pemerintahan pada satu orang saja. Orde baru yang niat awal terbentuknya adalah mengoreksi segala wujud penyimpangan yang dilakukan rezim Soekarno, tenyata dalam prakteknya hanya mengubah jargon-jargon yang dikumandangkan pada masa sebelumnya, namun secara substansial sifat otoritariannya tidak berubah. Kalau pada rezim Soekarno model pemerintahan didasarkan pada paham demokrasi terpimpin dan Manipol Usdek, maka di masa pemerintahan Soeharto jargon tersebut dibahasakan dengan paham demokrasi pancasila yang didasarkan cita negara integralistik. Apabila di masa Soekarno legitimasi pemerintahannya didasarkan pada slogan revolusiâ maka di era Soeharto legitimasinya didasarkan pada slogan pembangunan dan aœstabilitas politik.
Kedua hal tersebut ditujukan untuk membentuk suatu pemerintahan yang kuat /(strong state),/ yang oleh kedua rezim tersebut dianggap sebagai prasyarat mutlak bagi berhasilnya suatu pemerintahan. Mohtar Maso’ed mencatat bahwa latar belakang utama terbentuknya rezim orde baru yang otoritarian adalah trauma konflik politik yang parah, baik horisontal maupun vertikal, dan terpuruknya perekonomian Indonesia pada masa kepemimpinan Soekarno.
Untuk itu orde baru memilih untuk membentuk pemerintahan yang kuat. Secara konstitusional sebagaimana telah dikemukakan di atas, orde baru didukung oleh UUD 1945. Orde baru dan para pendukungnya, terutama Angkatan Darat, kemudian berhasil menempatkan pusat kekuasaan pengambilan keputusan kebijakan publik pada birokrasi yang secara langsung di komandoi oleh Presiden Soeharto. Sekurang-kurangnya ada lima kekuasaan presiden yang tercatat dalam hukum posistif Indonesia, kekuasaan sebagai kepala pemerintahan, sebagai kepala negara, kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif, serta kekuasaan militer dan darurat.
Dalam praktek politik dan ketatanegaraan selama masa orde baru, implementasi dari kekuasaan-kekuasaan tersebut menjadi instrumen yang efektif untuk mengintervensi dan mengeliminasi peranan lembaga-lembaga negara lain dalam penyelenggaraan kehidupan kenegaraan dan pemerintahan. Kekuasaan pemerintahan yang ada pada presiden, atau biasa disebut dengan kekuasaan eksekutif, merupakan konsekuensi dianutnya sistem pemerintahan presidensil oleh UUD 1945, sebagaimana dituangkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945.
Kekuasaan yang sangat luas ini selama pemerintahan orde baru tidak diterjemahkan lebih lanjut ke dalam bentuk-bentuk yang bersifat lebih operasional, dengan batas-batas tanggung jawab dan kewenangan yang jelas. Ketiadaan batas-batas tersebut menyebabkan Pasal 4 ayat (1) menjadi pegangan utama satu-satunya bagi kekuasaan pemerintahan ini. Kewenangan membentuk Keputusan Presiden (Keppres) yang mandiri adalah salah satu wujud kekuasaan pemerintahan yang ada pada presiden.
Sebagaimana telah disinyalir oleh berbagai pakar dan penelitian, kewenangan ini cenderung mengalami penyimpangan baik secara formil maupun materil, sehingga menjadi salah satu yang signifikan pada saat ini untuk dilakukan pengkajian ulang atas kewenangan pembentukan Keppres yang mandiri oleh presiden, di samping bentuk-bentuk lain dari kekuasaan pemerintahan lainnya. Kekuasaan sebagai kepala negara oleh beberapa pakar hukum tata negara dikonsepkan secara berbeda-beda. Padmo Wahjono menyatakan kekuasaan presiden sebagai kepala negara secara sempit, sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 Pasal 10, 11, 12, 13, 14, 15 dan peraturan perundang-undangan dalam hal pengangkatan-pengangkatan, adalah kekuasaan/kegiatan yang bersifat administratif, karena didasarkan atau merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan atau advis suatu lembaga tinggi legara lainnya. Jadi bukan hak prerogatif yang mandiri. Dalam kenyataannya, selama pemerintahan orde baru, kewenangan yang hanya bersifat adminsitratif ini cukup berpengaruh terhadap jalannya praktek politik dan kenegaraan di Indonesia. Pengangkatan hakim-hakim, anggota-anggota MPR dan DPR, serta jabatan-jabatan penting lainnya, merupakan ajang seleksi politik bagi orang-orang yang akan memasuki wilayah kekuasaan negara. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa orang-orang yang berada di ingkar luarâ kekuasaan sangat sulit untuk menduduki suatu jabatan tertentu dalam lembaga-lembaga negara dan pemerintahan.
Oleh karena itu, lembaga-lembaga yang harusnya melakukan fungsi kontrol, tidak dapat bertindak secara optimal bahkan mandul. Kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif serta kekuasaan militer dan darurat, merupakan tambahan dari kekuasan presiden yang konvensional. Secara konseptual, ketiga kekuasaan yang langsung diberikan oleh UUD 1945 ini tidak dilakukan secara mandiri oleh presiden, namun pada taraf pelaksanaan tampak kekuasaan presiden begitu dominan, terutama dalam bidang pembentukan undang-undang dan dalam kedudukannya sebagai penguasa tertinggi militer. Legitimasi konstitusi saja tampaknya tidak cukup bagi orde baru.
Untuk menghindari terulangnya keadaan di masa orde lama, orde baru secara sistematis berusaha memusatkan kekuasaan dengan melemahkan institusi-institusi yang seharusnya dapat menjadi lembaga kontrol yang mengimbangi kekuasaan presiden yang dominan. Institusi-institusi tersebut hampir merupakan seluruh bagian dari sistem kenegaraan di Indonesia.
Mulai dari lembaga tertinggi dan tinggi negara, infrastruktur politik, pers, infrastruktur hukum sampai instritusi-institusi yang ada di dalam masyarakat hingga ruang lingkup terkecil, tak lepas dari intervensi kekuasaan. Kedudukan birokrasi yang dominan ini didukung oleh unsur-unsur yang merupakan sumber kekuasaannya, yaitu kerahasiaan, monopoli informasi, keahlian teknis dan status sosial yang tinggi. Selama masa kepemimpinan Soeharto, unsur-unsur inilah yang kemudian menjadikan rezim yang dipimpinnya hampir steril dari kontrol lembaga lain, dan justru menjadi dasar bagi fungsi pengendalian atas masyarakat. Jadi cukup jelas sebenarnya, kekuasaan presiden yang besar yang diberikan oleh UUD 1945 selama masa keberlakuannya, cenderung dimanfaatkan oleh rezim yang berkuasa untuk kepentingan-kepentingan politiknya sendiri. Kekuasaan Presiden ini kemudian hanya menjadi instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan golongan tertentu yang pragmatis sifatnya dan secara empiris selalu mengorbankan, atau paling tidak mengeliminasi, kepentingan demokratisasi di Indonesi
Sejak beralihnya suatu rezim dari otoritarianisme ke demokrasi telah mengalami perubahaan tatanan politik yang diformat dalam tatanan yuridis ketatanegaraan maka pada tahap inilah pendekatan yuridis terhadap politik melahirkan hukum tata negara atau yang disebut sebagai hukum konstitusi.[9] Hukum konstitusi merupakan hukum yang mendasari seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.[10] Dengan demikian, politik hukum tentang tatanan bernegara bangsa Indonesia termuat dalam konstitusi sehingga dapat dikatakan bahwa tatanan kehidupan politik yang beradab dan demokratis harus dimulai dan dikonstruksikan dalam konstitusi (everything is started from the letters of constitution).
UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis Negara Republik Indonesia merupakan suatu dokumen hukum dan hukum dasar yang harus dijadikan pegangan dalam prinsip penyelenggaraan bernegara.[11] Sebagai dokumen hukum, UUD 1945 merupakan suatu pernyataan kontrak sosial antara rakyat dengan penguasa. Sedangkan sebagai hukum dasar, UUD 1945 merupakan basic rule dalam proses kehidupan berketatanegaraan bagi tiap-tiap lembaga kekuasaan yang menjalankan fungsinya masing-masing menurut prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power). Diantara ketiga lembaga kekuasaan yang menyelenggarakan negara tersebut, terdapat satu lembaga negara yang berfungsi menjalankan pemerintahan yaitu lembaga eksekutif. Lembaga ini lazim dikenal sebagai kepresidenan. Menurut Jimly Asshiddiqie bahwa yang dimaksud dengan lembaga kepresidenan adalah institusi atau organisasi jabatan yang dalam sistem pemerintahan berdasarkan UUD 1945 berisi dua jabatan, yakni Presiden dan Wakil Presiden.[12] Oleh sebab itu, pemerintahan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 sering dikatakan menganut sistem presidensiil.
Sistem presidensiil ini pun sifatnya tidak murni karena bercampur baur dengan elemen-elemen sistem parlementer. Percampuran itu tercermin dalam konsep pertanggungjawaban Presiden kepada MPR, yang termasuk kedalam pengertian lembaga parlemen. Dengan demikian, UUD 1945 menetapkan adanya fungsi sistem pemisahan kekuasaan sebagai adanya mekanisme kontrol antara kedua lembaga tersebut agar tercipta dan terselenggaranya pemerintahan yang kuat dan stabil.
Bahwa sistem UUD 1945 menghendaki suatu penyelenggaraan pemerintahan yang kuat dan stabil. Untuk mencapai maksud tersebut, UUD 1945 menggunakan prinsip-prinsip:[13]
1. Sistem eksekutif tunggal bukan kolegial. Dengan sistem ini penyelenggaraan dan kendali pemerintahan ada pada satu tangan, yaitu Presiden.[14]
2. Presiden adalah penyelenggaraan pemerintahan (chief executive), disamping sebagai kepala negara (head of state).
3. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR, melainkan kepada. MPR.[15]
4. Selain wewenang administrasi negara, Presiden mempunyai wewenang mandiri dalam membuat aturan-aturan untuk menyelenggarakan pemerintahan (disamping wewenang yang dilakukan bersama DPR membuat undang-undang).[16] Bahkan dengan alasan kegentingan yang memaksa, Presiden dapat menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang.[17]
5. Presiden dapat menolak mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui DPR. Hak tolak ini bersifat mutlak tanpa suatu mekanisme balances. Untuk menunjukan kehendak DPR sebagai perwujudan kedaulataan rakyat adalah yang supreme mestinya disediakan klausula untuk meniadakan penolakan Presiden (Pembatasan telah diatur dalam Perubahan Kedua, Pasal 20 ayat 5).[18]


F. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan

Dalam praktek, sebelum perubahan UUD 1945, kedudukan konstitusional Presiden makin kuat karena: Pertama, berkembangnya paham yang memberikan status tersendiri kepada Presiden sebagai Mandataris di samping sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Perkembangan Pemahaman ini didasarkan kepada bunyi Penjelasan UUD 1945 yang menyebutkan Presiden adalah Mandataris MPR.[19] Dengan paham ini, diterima pula pandangan bahwa Presiden bertanggung jawab kepada MPR karena sebagai Mandatarisi MPR. Disebutkan dalam penjelasan UUD 1945 : “Presiden yang diangkat oleh Majelis.” Paham yang menempatkan mandataris sebagai institusi sendiri merupakan perluasan yang berlebihan. Yang dimaksudkan “mandataris” dalam Penjelasan adalah hanya sekedar menegaskan bahwa Presiden yang dipilih MPR menjalankan fungsi sebagai mandataris atau pemegang mandat MPR, sehingga harus tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR. Jadi, sebutan mandataris melekat pada jabatan Presiden sebagai penyelenggara pemeritahan, bukan sebagai pranata tersendiri.
Kedua, Presiden dilekati dengan berbagai kewenangan khusus seperti sebagai penyelenggara pembangunan. Dengan ini seolah-olah Presiden mempunyai kualifikasi kewenangan lain selain sebagi penyelenggara pemerintah. Sedangkan penyelenggara pembangunan oleh Pemerintahan (Presiden) tidak lain dari fungsi pemerintahan itu sendiri yaitu menyelenggarakan pemerintahan untuk mewujudkan tujuan membentuk pemerintahan yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.[20]
Ketiga, Kedudukan Presiden sebagai pimpinan tertinggi Angkatan Bersenjata (sekarang: TNI dan POLRI) diberi pengertian sebagai kewenangan efektif, bukan sekedar simbolik. Memang terdapat dua pandangan mengenai kedudukan Presiden (kepala negara) sebagai pimpinan teritnggi angkatan perang. Pandangan pertama menganggapnya sebagai bersifat simbolik untuk menunjukan bahwa militer ada di bawah kendali pemerintahan sipil.[21] Pandangan lain mengatakan bahwa kedudukan Presiden sebagai pimpinan tertinggi angkatan bersenjata atau angkatan perang tidak hanya simbolik, tetapi efektif. Presiden dengan kuasa sendiri dapat mengerahkan angkatan perang untuk melakukan tindakan tertentu.

2. Saran
Dari uraian di atas terlihat bahwa kuatnya kekuasaan Presiden (pemerintah) dalam penyelenggaraan negara bukan sekedar fakta, melainkan sebagai suatu yang inheren dengan sistem UUD 1945 beserta praktek ketatanegaraannya. Untuk menghindari keadaan “excessive” kekuasaan Presiden yang besar tersebut, dapat dikembangkan beberapa cara sebagai suatu praktek ketatanegaraan, antara lain :
· Menjadikan BP MPR sebagai badan sehari-hari yang melakukan segala tugas MPR yang tidka sedan bersidang, kecuali wewenang menetapakn perubahan UUD, menetapakan GBHN, dan meminta pertanggungjawaban Presiden. Tugas-tugas pengawasan konstitusional lainnya terhadap Presiden termasuk memperingatkan Presiden mengenai tugas-tugas konstitusionalnya dan berbagai tugas lain dapat dilaksanakan BP MPR. Meskipun DPR mempunyai wewenang pengawasan, pengawasan sehari-hari oleh MPR sendiri mempunyai arti hukum, politik, atau psikologis yang lebih kuat dari DPR, karena Presiden untergeordnet terhadap MPR sehingga ada unsur “atasan dan bawahan”. Sedangkan dengan DPR, Presiden neben. Artinya tidak tunduk dan tidak bertanggung jawab kepada DPR.[22]
· Penggunaan secara lebih efektif wewenang DPR untuk mengawasi Presiden baik yang bersifat preventif maupun repsesif. Hak-hak kontrol DPR harus dapat digunakan dengan tata cara yang lebih sederhana dan mudah, tidak berbelit-belit yang disertai persyaratan-persyaratan yang tidak mudah diwujudkan. Namun demikian, pelaksanaan fungsi kontrol harus dilakukan dengan memperhatikan bentuk pemerintahan presidensial yang harus stabil, kekuasaan ekslusif Presiden yang dijamin UUD, dan “beleid” sebagai suatu kebebasan bertindak atas dasar “doelmatigheid” dan bukan “rechtmatigheid” belaka.
· Hak anggaran DPR harus dapat digunakan secara lebih efektif sehingga seluruh aspek penyelenggaraan anggaran diketahui dan tunduk pada kehendak DPR.
· Menciptakan praktek-praktek Checks and Balances secara lebih luas antara Presiden dengan alat perlengkapan negara lainnya. Hal ini dapat dilakukan antara lain :
a) Lebih mengefektifkan fungsi badan peradilan untuk menguji segala peraturan perundang-undangan, keputusan, atau tindakan pemerintahan terhadap UUD.
b) Lebih mengefektifkan DPA dengan mensyaratkan kewajiban Pemerintah untuk berkonsultasi dengan DPA sebelum suatu keputusan atau tindakan tertentu ditetapkan[23] (DPA ditiadakan berdasarkan perubahan keempat UUD 1945)
c) Hasil pemeriksaan BPK tidak hanya sebagai naskah untuk disampaikan kepada DPR atau kepada Presiden, tetapi dapat secara langsung diteruskan kepada pihak yang berwenang agar diadakan penyidikan dan penuntutan apaabila menemukan tindakan di bidang keuangan yang dapat dipidana atau dapat dikenai suatu tindakan administrasi.[24]



G. Literatur

ENDNOTE:
[1] Dalam sistem presidensiil, kedudukan sebagai kepala negara dan kepala pemerintah merupakan kedudukan yang menyatu dalam jabatan Presiden.

[2] Harun Alrasid, “Membangun Indonesia Baru dengan Undang-undang Dasar Baru (Menanti Kelahiran Republik Kelima)” dalam Naskah UUD 1945 Sesudah Empat Kali Diubah oleh MPR, (Jakarta: UI Press, 2004), hal. 153.

[3] Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 112.

[4] A.K. Pringgodigdo, Kedudukan Presiden Menurut Tiga Undang-undang Dasar Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Pembangunan, 1956), hal. 11.

[5] Prinsip Checks and Balances merupakan implikasi diterapkannya sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) antar tiga cabang kekuasaan yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif untuk saling mengawasi, mengontrol dan mengimbangi secara sederajat satu sama lain. Lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 73 dan 235.

[6] Padmo Wahyono, “Indonesia ialah Negara yang Berdasarkan Atas Hukum” dalam Politik Hukum Tata Negara Indonesia, diedit oleh Hendra Nurtjahjo, (Jakarta: PSHTN UI, 2004), hal. 88.

[7] Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, (Yogyakarta: FH-UII Press, 2004), hal. 6.

[8] Ibid., hal. 9.

[9] Hendra Nurtjahjo, Politik Hukum Tata Negara Indonesia, (Depok: PSHTN UI, 2004), hal. ix.

[10] Ibid., hal. x.

[11] Konstitusi dapat dikatakan hukum dasar yang tertulis yang lazim disebut UUD dan dapat pula tidak tertulis. Menurut Jimly Asshiddiqie, UUD sebagai konstitusi tertulis beserta nilai-nilai dan norma hukum dasar tidak tertulis yang hidup sebagai konvensi ketatanegaraan dalam praktek penyelenggaraan Negara sehari-hari, termasuk kedalam pengertian konstitusi atau hukum dasar (droit constitustionel) suatu Negara. Baca Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta, Konstitusi Press, 2005), hal. 35.

[12] Jimly Asshidiqqie, ibid., hal. 209.
[13] Kesepakatan dasar untuk mempertegas sistem pemerintahan presidensiil bertujuan untuk memperkukuh sistem pemerintahan yang stabil dan demokratis yang dianut oleh Negara Republik Indonesia dan telah dipilih oleh pendiri negara pada tahun 1945. Lihat Ni’matul Huda, op.cit., hal. 145.

[14] Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 4 ayat (1).

[15] Berdasarkan perubahan ketiga, President tidak bertanggung jawab baik kepada DPR maupun MPR. Ketentuan ini akan lebih memperkuat kedudukan Presiden.

[16]Indonesia, UUD 1945, Pasal 5 jo Perubahan Pertama, 1999.

[17] Ibid., Pasal 22.

[18] Ibid., Pasal 21 jo. Perubahan Kedua, 2001.

[19] Lihat Penjelasan UUD 1945 : “Ia ialah ‘Mandataris’ dari Mejelis”

[20] Lihat TAP Nomor VI/MPR/1983 jo. TAP MPR Nomor V/MPR/1998, dan TAP MPR No. XIII/MPR/1998.

[21] Yuddy Chrisnandi, Reformasi TNI: Perspektif Baru hubungan Sipiul-Militer di Indonesia, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2005), hal. 98 dan 109.

[22] Dengan perubahan hubungan antara Presiden dan MPR akibat perubahan UUD 1945, pandangan ini tidak lagi relevan, kecuali dalam rangka mencegah Presiden dan Wakil Presiden melakukan pelanggaran sebagaimana ditentukan Pasal 7 A UUD 1945.

[23] Berdasarkan perubahan keempat UUD 1945 maka DPA ditiadakan.

[24] Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 tahun 1973, menyebutkan “Apabila suatu pemeriksaan mengungkapkan hal-hal yang menimbulkan sangkaan tindak pidana atau perbuatan yang merugikan keuangan negara, maka Badan Pemeriksaan Keuangan memberitahukan persoalan tersebut kepada Pemerintah.”

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdul Gani. Pengantar Memahami Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam “Jurnal Legislasi Indonesia” Vol 1, No. 2 September 2004.

Alrasid, Harun. “Membangun Indonesia Baru dengan Undang-undang Dasar Baru (Menanti Kelahiran Republik Kelima)” dalam Naskah UUD 1945 Sesudah Empat Kali Diubah oleh MPR. Jakarta: UI Press, 2004.

Amerika Serikat. The Constitution of the United States 1789.

Arief, Barda Nawawi. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.

Arinanto, Satya. “Perubahan Undang-undang Dasar 1945,” makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Tinjauan Kritis Terhadap Perubahan Keempat UUD 1945 yang diselenggarakan FH Universitas Trisakti, Jakarta, 15 Agustus 2002.

Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

_______. “Pergeseran-pergeseran Kekuasaan Legislatif dan Eksekutif” dalam Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi. Diedit oleh Zainal A.M Husein, Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

_______. “Pembentukan dan Pembuatan Hukum” dalam Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi. Diedit oleh Zainal A.M Husein. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

______. Kapita Selekta Teori Hukum: Kumpulan Tulisan Tersebar, (Jakarta: FHUI, 2004

Biro Humas dan Hubungan Luar Negeri Departemen Hukum dan HAM. Terjemahan Konstitusi Negara Asing. Jakarta: Depkeh & HAM, 2004.

Chrisnandi, Yuddy. Reformasi TNI: Perspektif Baru hubungan Sipiul-Militer di Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES, 2005.

Dicey, A.V. An Introduction to the Study of The Law of The Constitution. ELBS, 1968.

Finer, Herman. The Major Government of Modern Europe. Harper & Row, 1962.
Haque, Rodd dan Martin Harrop, Comperative Government and Polities. Mac Millan, 1987.

Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005.

Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia. Undang-undang tentang Perjanjian Internasional. UU No. 24 Tahun 2000. LN Tahun 2000 No. 185. TLN No. 4012.

Indonesia. Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. UU No. 10 Tahun 2004, LN Tahun 2004 No. 53. TLN. 4389.

Kusumaatmadja, Mochtar. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Bina Cipta, 1990. Manan, Bagir. Kekuasaan Presiden. Yogyakarta: FH UII Press, 2004.

______. Teori dan Politik Konstitusi. Yogyakarta: FH UII Press, 2004.

Morris, Clarence. (ed), the Great Legal Philosopheres. Pennsylvania: University of Pennsylvania Press, 1979.

Nurtjahjo, Hendra. Politik Hukum Tata Negara Indonesia. Depok: PSHTN UI, 2004
Pringgodigdo, A.K. Kedudukan President Menurut Tiga Undang-undang Dasar Dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Pembangunan, 1956.The Netherlands, The Netherlands Constitution.

Thomson, Brian. Constitusional & Administrative Law. Blackstone Press Limited, 1995.

U.S. Information Service Agency. An Outline of American Government. Washington: U.S. ISA, 1980.

Wahyono, Padmo. “Indonesia ialah Negara yang Berdasarkan Atas Hukum” dalam Politik Hukum Tata Negara Indonesia, diedit oleh Hendra Nurtjahjo. Jakarta: PSHTN UI, 2004.

_______. Ilmu Negara: Kuliah-kuliah pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Disusun oleh Teuku Amir Hamzah, dkk. Jakarta: Indo Hill-Co, 2003.