Sabtu, 30 Januari 2010

AROGANSI MALAYSIA SUATU TANTANGAN BAGI BUDAYA DAN NASIONALISME BANGSA

A. Latar Belakang Masalah
Nasionalisme Indonesia pada awalnya muncul sebagai jawaban atas kolonialisme. Pengalaman penderitaan bersama sebagai kaum terjajah melahirkan semangat solidaritas sebagai satu komunitas yang mesti bangkit dan hidup menjadi bangsa merdeka. Semangat tersebut oleh para pejuang kemerdekaan dihidupi tidak hanya dalam batas waktu tertentu, tetapi terus-menerus hingga kini dan masa mendatang.
Pada masa sekarang ini satu hal yang perlu dibenahi oleh bangsa Indonesia adalah mentalitas warga masyarakatnya. Sikap mental yang kuat dan konsisten serta mampu mengeksplorasi diri adalah salah satu bentuk konkrit yang dibutuhkan bangsa Indonesia pada saat ini. Saat ini memang bangsa Indonesia sedang mengalami massa-masa keterpurukanya dalam dunia intetrnasional. Krisis multidimensi yang di barengi dengan krisis ekonomi yang berkepanjanganlah yang menyebabkan kegoncangan dan keterpurukan mental Indonesia.
Dalam krisis keterpurukan mental bangsa ini, di manfaatkan bagi beberapa negara khususnya negara tetanga Malaysia untuk mengintervensi berbagai aset atau kekayaan negara kita. Sikap arogansi malaysia yang seakan tidak memiliki rasa malu, saat ini sering kita saksikan. Mulai dari klaim atas beberapa bagian dari wilayah kita, pencaplokan seni budaya, penyiksaan para TKI dan juga penyusupan para teroris yang semuanya berasal dari Malaysia.
Dalam makalah ini akan dijelaskan beragai permasalahan yang disebabkan oleh sikap arogansi Malaysia kepada negara kita, serta bagaimana pandangan ideologi bangsa dalam meng hadapi permasalahan ini. Hal ini tentunya akan menjadi tantangan bagi budaya Nasionalisme bangsa kita dalam menanggapi berbagai permasalahan tersebut.
Tujuan pembahasan ini adalah untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan nasionalisme dan bagaimana arti nasionalisme bagi Indonesia, mengetahui bentuk-bentuk nasionalisme, dapat membandingkan perbedaan bentuk nasionalisme dari suatu periode ke periode yang lain, serta mengetahui pengaruh nasionalisme jika di kaitkan dengan konflik antar bangsa.

B. Tinjauan Teori
1. Budaya dan Kebudayaan
Indonesia adalah negara yang didirikan bukan atas dasar persamaan budaya. Oleh karena itu, jika dilihat dari sudut kebudayaan, Indonesia adalah sebuah bangsa yang cukup rapuh. Tidak cukup banyak perekat yang dapat digunakan untuk mempersatukan etnis-etnis di negeri ini. Bahwa ada sumpah pada tahun 1928, sumpah pemuda, tetapi sumpah itu hanya berisi ikrar satu nusa, satu bangsa, satu bahasa, tidak ada satu budaya. Jika pada saat ini kita berusaha membangun sebuah simbol budaya, yang kemudian kita beri nama kebudayaan Indonesia, maka usaha itu merupakan sebuah harapan, sebuah perjalanan panjang, yang memang bukan tidak bisa dilakukan.
Kebudayaan adalah sesuatu yang dapat diciptakan, direkayasa. Rekayasa budaya diperlukan agar etnis Indonesia dapat berhubungan satu sama lain dengan harmonis. Untuk maksud itu, Jepang adalah salah satu negara yang dapat ditiru karena mereka telah cukup berhasil mengembangkan kebudayaan mereka. Mereka telah mulai melakukan usaha membuka diri pada masa Restorasi Meiji. Usaha itu, yang pada awalnya bagi sebagian orang sangat menganggu jati diri mereka, pada saat ini telah membuat Jepang memiliki kebudayaan tunggal. Mereka dapat menyaring dan menyerap semua yang masuk dalam bidang apa pun tanpa meninggalkan jati diri mereka sebagai orang Jepang. Harus diakui bahwa memang hal ini dapat mereka lakukan dengan mudah karena Jepang adalah negara yang tidak multietnis. Mereka hanya memiliki minoritas suku Ainu dan sedikit warga negara keturunan Korea.
Budaya mempunyai pengertian teknografis yang luas meliputi ilmu pengetahuan, keyakinan/percaya, seni, moral, hukum, adapt istiadat, dan berbagai kemampuan dan kebiasaan lainnya yang didapat sebagai anggoa masyarakat
Dalam situasi atau kondisi apa pun dimensi budaya dalam suatu setting sosial akan menampilkan sejumlah atribut dan bahasa adalah salah satu contoh atribut budaya yang demikian itu. Dengan ciri-ciri budaya seperti itu telah memungkinkan orang-orang untuk memperlihatkan identitas sosialnya. Identitas sosial mengacu pada definisi-diri (self-definition) seseorang dalam hubungannya dengan orang lain. Oleh karena itu, ada kecenderungan bahwa dengan budaya (budi bahasa) tertentu orang-orang juga dapat memperlihatkan dari lapisan atau kelompok mana mereka itu berasal. Seseorang yang datang dari kelompok pertikaian (prokonflik), misalnya, ada kemungkinan akan menunjukkan tata krama berbahasa yang berbeda dari kelompok lain yang cenderung kompromi (antikonflik). Hal itu tergantung juga pada objek atau substansi apa yang menyebabkan suatu peristiwa konflik menjadi terbuka sedemikian rupa sehingga dengan peristiwa itu membawa konsekuensi laten yang tidak diharapkan bagi negara atau masyarakat luas.
Betapapun, dalam ilmu-ilmu sosial, kebudayaan merupakan salah satu fokus teoretis yang mendasar. Secara umum budaya tersebut dapat dimengerti sebagai kumpulan pengetahuan yang secara sosial diwariskan dari satu generasi kepada generasi selanjutnya. Warisan sosial itu juga mengandung karakter normatif, yakni para individu dari suatu komunitas terikat oleh kebersamaan dan rasa memiliki terhadap kebudayaan mereka. Hal itu terungkap dalam kesamaan persepsi tentang dunia sekitarnya dalam wujud simbol-simbol tertentu yang didukung oleh seperangkat aturan sanksi. Pada saat itu kesamaan tadi telah menjadi kebiasaan karena tata cara seperti itu telah dilakukan secara berulang-ulang atau terus-menerus dalam jangka waktu yang cukup lama dalam kelompoknya. Dalam ilmu-ilmu sosial konsep budaya tersebut dipahami dalam berbagai makna yang bervariasi dan sebagian di antaranya bersumber pada keragaman model yang mencoba menjelaskan hubungan antara masyarakat, kebudayaan, dan individu.

2. Nasionalisme
Pengertian nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris "nation") dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia.
Para nasionalis menganggap negara adalah berdasarkan beberapa "kebenaran politik" (political legitimacy). Bersumber dari teori romantisme yaitu "identitas budaya", debat liberalisme yang menganggap kebenaran politik adalah bersumber dari kehendak rakyat, atau gabungan kedua teori itu.
Ikatan nasionalisme tumbuh di tengah masyarakat saat pola pikirnya mulai merosot. Ikatan ini terjadi saat manusia mulai hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu dan tak beranjak dari situ. Saat itu, naluri mempertahankan diri sangat berperan dan mendorong mereka untuk mempertahankan negerinya, tempatnya hidup dan menggantungkan diri. Dari sinilah cikal bakal tubuhnya ikatan ini, yang notabene lemah dan bermutu rendah. Ikatan inipun tampak pula dalam dunia hewan saat ada ancaman pihak asing yang hendak menyerang atau menaklukkan suatu negeri. Namun, bila suasanya aman dari serangan musuh dan musuh itu terusir dari negeri itu, sirnalah kekuatan ini.
Dalam zaman modern ini, nasionalisme merujuk kepada amalan politik dan ketentaraan yang berlandaskan nasionalisme secara etnik serta keagamaan, seperti yang dinyatakan di bawah. Para ilmuwan politik biasanya menumpukan penyelidikan mereka kepada nasionalisme yang ekstrem seperti nasional sosialisme, pengasingan dan sebagainya.
Nasionalisme dapat menonjolkan dirinya sebagai sebagian paham negara atau gerakan (bukan negara) yang populer berdasarkan pendapat warganegara, etnis, budaya, keagamaan dan ideologi. Kategori tersebut lazimnya berkaitan dan kebanyakan teori nasionalisme mencampuradukkan sebahagian atau semua elemen tersebut.
Nasionalisme kewarganegaraan (atau nasionalisme sipil) adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari penyertaan aktif rakyatnya, "kehendak rakyat"; "perwakilan politik". Teori ini mula-mula dibangun oleh Jean-Jacques Rousseau dan menjadi bahan-bahan tulisan. Antara tulisan yang terkenal adalah buku berjudulk Du Contract Sociale (atau dalam Bahasa Indonesia "Mengenai Kontrak Sosial").
Nasionalisme etnis adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya asal atau etnis sebuah masyarakat. Dibangun oleh Johann Gottfried von Herder, yang memperkenalkan konsep Volk (bahasa Jerman untuk "rakyat").
Nasionalisme romantik (juga disebut nasionalisme organik, nasionalisme identitas) adalah lanjutan dari nasionalisme etnis dimana negara memperoleh kebenaran politik secara semulajadi ("organik") hasil dari bangsa atau ras; menurut semangat romantisme. Nasionalisme romantik adalah bergantung kepada perwujudan budaya etnis yang menepati idealisme romantik; kisah tradisi yang telah direka untuk konsep nasionalisme romantik. Misalnya "Grimm Bersaudara" yang dinukilkan oleh Herder merupakan koleksi kisah-kisah yang berkaitan dengan etnis Jerman.
Nasionalisme Budaya adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya bersama dan bukannya "sifat keturunan" seperti warna kulit, ras dan sebagainya. Contoh yang terbaik ialah rakyat Tionghoa yang menganggap negara adalah berdasarkan kepada budaya. Unsur ras telah dibelakangkan di mana golongan Manchu serta ras-ras minoritas lain masih dianggap sebagai rakyat negara Tiongkok. Kesediaan dinasti Qing untuk menggunakan adat istiadat Tionghoa membuktikan keutuhan budaya Tionghoa. Malah banyak rakyat Taiwan menganggap diri mereka nasionalis Tiongkok sebab persamaan budaya mereka tetapi menolak RRT karena pemerintahan RRT berpaham komunisme.
Nasionalisme kenegaraan ialah variasi nasionalisme kewarganegaraan, selalu digabungkan dengan nasionalisme etnis. Perasaan nasionalistik adalah kuat sehingga diberi lebih keutamaan mengatasi hak universal dan kebebasan. Kejayaan suatu negeri itu selalu kontras dan berkonflik dengan prinsip masyarakat demokrasi. Penyelenggaraan sebuah 'national state' adalah suatu argumen yang ulung, seolah-olah membentuk kerajaan yang lebih baik dengan tersendiri. Contoh biasa ialah Nazisme, serta nasionalisme Turki kontemporer, dan dalam bentuk yang lebih kecil, Franquisme sayap-kanan di Spanyol, serta sikap 'Jacobin' terhadap unitaris dan golongan pemusat negeri Perancis, seperti juga nasionalisme masyarakat Belgia, yang secara ganas menentang demi mewujudkan hak kesetaraan (equal rights) dan lebih otonomi untuk golongan Fleming, dan nasionalis Basque atau Korsika. Secara sistematis, bila mana nasionalisme kenegaraan itu kuat, akan wujud tarikan yang berkonflik kepada kesetiaan masyarakat, dan terhadap wilayah, seperti nasionalisme Turki dan penindasan kejamnya terhadap nasionalisme Kurdi, pembangkangan di antara pemerintahan pusat yang kuat di Sepanyol dan Perancis dengan nasionalisme Basque, Catalan, dan Corsica.
Nasionalisme agama ialah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh legitimasi politik dari persamaan agama. Walaupun begitu, lazimnya nasionalisme etnis adalah dicampuradukkan dengan nasionalisme keagamaan. Misalnya, di Irlandia semangat nasionalisme bersumber dari persamaan agama mereka yaitu Katolik; nasionalisme di India seperti yang diamalkan oleh pengikut partai BJP bersumber dari agama Hindu.
Namun demikian, bagi kebanyakan kelompok nasionalis agama hanya merupakan simbol dan bukannya motivasi utama kelompok tersebut. Misalnya pada abad ke-18, nasionalisme Irlandia dipimpin oleh mereka yang menganut agama Protestan. Gerakan nasionalis di Irlandia bukannya berjuang untuk memartabatkan teologi semata-mata. Mereka berjuang untuk menegakkan paham yang bersangkut paut dengan Irlandia sebagai sebuah negara merdeka terutamanya budaya Irlandia. Justru itu, nasionalisme kerap dikaitkan dengan kebebasan.

3. Budaya Nasionalisme Indonesia
Nasionalisme merupakan suatu bentuk ideologi, demikian pendapat James G. Kellas (1998: 4). Sebagai suatu ideologi, nasionalisme membangun kesadaran rakyat sebagai suatu bangsa serta memberi seperangkat sikap dan program tindakan. Tingkah laku seorang nasionalis didasarkan pada perasaan menjadi bagian dari suatu komunitas bangsa.
Nasionalisme Indonesia pada awalnya muncul sebagai jawaban atas kolonialisme. Pengalaman penderitaan bersama sebagai kaum terjajah melahirkan semangat solidaritas sebagai satu komunitas yang mesti bangkit dan hidup menjadi bangsa merdeka. Semangat tersebut oleh para pejuang kemerdekaan dihidupi tidak hanya dalam batas waktu tertentu, tetapi terus-menerus hingga kini dan masa mendatang.
Kebijakan pendidikan nasional di awal abad XX telah menciptakan inti dari elite baru Indonesia yang terdiri dari para dokter, guru, dan pegawai sipil pemerintah. Bersamaan dengan itu, kebencian yang laten terhadap dominasi kolonial timbul di atas ambang kesadaran nasional. Berdirinya Boedi Oetomo (1908) menjadi tanda kebangkitan nasionalisme Indonesia yang kemudian diikuti organisasi-organisasi nasional lainnya.
Jiwa nasionalisme kaum elite dari hari ke hari semakin meluas dan menguat di hati rakyat. Tekanan ekonomi yang teramat berat selama pendudukan Jepang memperkuat semangat nasionalisme untuk mewujudkan Indonesia merdeka. Pada kurun waktu 1945-1950, jiwa nasionalisme diperteguh oleh semangat mempertahankan kemerdekaan, serta persatuan dan kesatuan Indonesia yang dirongrong oleh perlawanan kedaerahan dari negara-negara boneka bentukan Belanda.
Apakah nasionalisme masih cukup ampuh untuk mempersatukan keragaman masyarakat dengan latar belakang etnis dan budaya berbeda dalam bingkai sebuah negara bangsa? Pertanyaan ini kiranya perlu diajukan mengingat bahwa perubahan global telah memberikan ancaman serius bagi nasionalisme.
Pertama adalah sentimen etnis. Etnis memiliki daya kekuatan mengikat yang bersifat primordial berupa ikatan darah dan kekerabatan, bahasa, serta budaya yang sama. Ikatan etnis dapat menimbulkan suatu solidaritas yang kuat dan sentimen etnis. Peristiwa di Yugoslavia dan Cekoslovakia, misalnya, dengan mudah dapat menghancurkan wawasan kebangsaan.
Di Indonesia bagaimanapun kemerdekaan adalah sebuah proses yang dilaksanakan secara terburu-buru. Kemerdekaan itu lebih didasarkan atas keinginan memiliki sebuah negara berdaulat. Penjajahan yang telah memakan waktu lebih dari tiga setengah abad telah menimbulkan trauma berkepanjangan, yang tidak saja pada bangsa asing tetapi juga pada bangsa sendiri. Untuk mengatasi trauma ini, merdeka adalah jalan satu-satunya yang harus ditempuh dengan segera. Bahwa setelah merdeka ternyata kemudian timbul masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik sebagai akibat dari banyaknya pulau dan banyaknya etnis sama sekali tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Peristiwa lepasnya Timor Timur dari NKRI merupakan suatu kekalahan politik, suatu tamparan, bahwa Indonesia tidak mampu menjaga keutuhan wilayah negara.
Kedua adalah agama. Di Indonesia nasionalisme tidak hanya dapat dilihat dari sisi politis dan etnis. Memang etnis adalah substansi dari politis dan bahkan etnis menjadi spirit untuk mencari hidup bersama dalam suatu komunitas tertentu. Akan tetapi, pluralitas etnis di Indonesia juga disatukan oleh unsur agama, yang kemudian diformulasikan dalam sila pertama Pancasila. Agama menjadi inspirasi kesetiakawanan tanpa memandang ia berasal dari agama mana. Hal itu dengan jelas terbukti bahwa meskipun Islam adalah agama terbesar di Indonesia, usaha untuk menempatkan kata-kata Islam dalam sila pertama tadi tidak pernah mendapat legitimasi. Ini menunjukkan bahwa pada waktu itu agama merupakan salah satu perekat bangsa. Perkembangan sejarah memperlihatkan bahwa hampir-hampir tidak ada konflik di seluruh kepulauan Indonesia ketika para agamawan mempersatukan aneka kelompok etnis dalam sebuah wadah agama yang sama.
Ketiga adalah kesejahteraan. Kesejahteraan merupakan sebuah bentuk nasionalisme yang sangat kuat untuk melahirkan loyalitas kepada bangsa dan negara. Nasionalisme ini tidak menonjolkan persamaan nasib, tetapi yang lebih utama adalah menciptakan suatu keadilan, suatu kesejahteraan sosial, ekonomi, dan politik. Jika suatu daerah yang mengandung kekayaan alam yang berlimpah ruah tetapi tidak mampu membuat rakyat mereka sejahtera, maka menjadi sia-sia untuk mengharapkan loyalitas mereka kepada bangsa dan negara. Apa yang terjadi di Aceh Utara, misalnya, dengan ladang gas dan pupuk yang begitu besar, tetapi di belakang pabrik-pabrik itu tinggal masyarakat dengan perumahan yang kumuh, mata pencaharian yang tidak menentu, harga barang yang selangit, maka berbicara tentang nasionalisme kepada mereka, berbicara kepada mereka bahwa bumi, air, dan segala yang terkandung di dalamnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, hanya menjadi bahan tertawaan.

4. Contoh Kasus Yang Berkaitan Dengan Nasionalisme Indonesia Yang Disebabkan Oleh Arogansi dan Intervensi Malaysia
· Kasus Sipadan dan Ligitan
Sipadan ligitan merupakan salah satu pulau Indonesia yang masuk dalam zona rawan intervensi. Wlaupun pulau ini bukanlah pulau yang luas, sipadan ligitan, kerapkali menimbulkan intervensi dan pengklaiman sepihak terhadap kepemilikian pulau tersebut. Hal ini dikatenakan masih sangat lemahnya sistem hukum, dan pertahanan dan keamanan Negara.
Pada kekade 2000 lalu, sipadan ligitan kembali mengundang polomik terhadap Negara lain. Kali ini adalah negeri jiran malaisia yang mengklaim, atas kepemilikan dua pulau tersebut. Merekan mengeluarkan sebuah pernyataan yang sangat menyakitkan bangsa Indonesia. Kepemilikan Indonesia atas sipadan ligitan tidak diakui malahan merekan mengakui bahwa merekalah yang berhak atas kepemilikan sipadan dan ligitan.
Hal ini mengundang reaksi keras dari pihak Indonesia maupun pihak luar. Berbagai bentuk protes dan upaya telah di lancarkan sebagai upaya Indonesia mempertahankan hak dan kedaulatanya. Namun upaya-upaya tersebut harus terhenti ketika PBB menyatakan kepemilikan sipadan dan ligitan sebagai bagian dari wilayah Malaysia.
· Kasus Pulau Ambalat
Tak beda juga dengan ambalat, sebuah pulau yang masuk dalam zona kritis intervensi. Kali ini juga Indonesia dan Malaysia kini menghadapi persoalan wilayah Ambalat akibat pemberian konsesi untuk ekplorasi minyak oleh perusahaan minyak Malaysia (Petronas) pada 16 Februari 2005 kepada perusahaan Shell asal Inggris/Belanda di Laut Sulawesi yang berada di sebelah timur Pulau Kalimantan. Indonesia menyebut wilayah yang diklaim Malaysia itu blok Ambalat dan blok East Ambalat. Di blok Ambalat, Indonesia telah memberikan konsesi kepada ENI (Italia) pada tahun 1999 dan sekarang dalam tahap eksplorasi. Sedangkan blok East Ambalat diberikan kepada Unocal (AS) pada tahun 2004.
Untuk blok East Ambalat, kontrak baru ditandangani 13 Desember 2004. Namun kontrak ini menjadi bermasalah ketika Malaysia mengklaim masalah tersebut sebagai wilayahnya dan menolak klaim Indonesia. Malaysia mengklaim Ambalat wilayahnya dengan pertimbangan berada dalam teritorial Malaysia sebagai implikasi lepasnya Sipadan-Ligitan yang tentu berdampak kepada luas batas perairannya. Parahnya, kedua negara belum menuntaskan garis batas teritorial laut.
Perdana menteri Abdullah Ahmad Badawi dengan tegas mengklaim wilayah East Ambalat adalah wilayahnya, sebaliknya dan patut diherankan adalah pernyataan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono yang tidak menganggap sikap Malaysia tersebut sebagai ancaman. Pernyataan tersebut tentu mempunyai banyak interpretasi.
Sebagai salah satu bentuk sikap politik yang bersahabat dan etis mungkin hal itu dapat dibenarkan, namun dalam kondisi keterpurukan Indonesia seperti sekarang, ketegasan sangat diperlukan untuk mengatakan sikap Malaysia tersebut dapat menjadi ancaman bagi Indonesia. Belajar dari pengalaman Sipadan-Ligitan, sikap Indonesia yang kurang tegas dan tanggap menghasilkan lepasnya kedua pulau tersebut dari pangkuan Indonesia. Tentu Indonesia tidak rela Ambalat jatuh ke tangan Malaysia, karena bukan tidak mungkin akan menyusul penguasaan wilayah Indonesia oleh negara tetangga terhadap pulau-pulau kecil dan wilayah perairannya yang diperkirakan mencapai 92 buah pulau kecil perbatasan. Jika Ambalat lepas dari Indonesia, hal itu semakin membuktikan kedaulatan negara terancam dan harga diri serta martabat bangsa rendah di mata dunia.
· Kasus pemukulan wasit karate di Malaysia
Kasus pemukulan wasit karate Donald Pieters Leuthers K pada saat pertandingan sea games di Malaysia mengundang banyak polomik. Pengeroyokan yang dilakokan oleh oknum-oknum polisi Malaysia terhadap Donald mengundang kemarahan dan kecaman-kecaman Negara lain terhadap Malaysia.
Salah satunya adalah Indonesia yang mengaku tidakm terima atas perlakuan Malaysia tersebut. Menurut Indonesia sikap Malaysia sangat brutal dan arogan. Apalagi yang melakukan pengeroyokan tersebut adalah oknum-oknum polisi. Hal ini tentunya menggambarkan betapa buruknya mentalitas masyarakat Malaysia. Begitu bobroknya norma-norma mereka hingga oknum polisi yang seharusnya memberikan pelayanan malah menjadi teroris massa.
Pernyataan Indonesia juga keluar dari SBY yang mengutarakan keprihatinanya terhadap insidentersebut.
· Kasus Tari Reog di Ponorogo
Tidak hanya pulau-pulau saja yang diklaim kepemilikanya atas Malaysia tetapi dewasa ini juga mengarah pada sasaran baru, yaitu kesenian tari reog asal ponorogo, jawa timur. Malaysia mengklaim bahwa tari reog asal ponorogo yang dalam bangsa Malaysia menyebutnya barongan di akui sebagai kebudayaan asli Malaysia.
Menurut saya sebagai penulis makalah ini, sungguh amat sangatlah bodoh dan konyol, tindakan negeri jiran tersebut. Kalau boleh diibaratkan mereka bagaikan anak kecil yang mencuri di tengah kota. Mereka tidak mempunyai dasar apa-apa yang kuat yang dapat membuktikan kepemilikan atas kebudayaan reog ponorogo.
Peri bahasa mengatakan “Katak berjalan, tak dapat belang Tertutup Ranting Pohon”. Malaysia yang malu akan perbuatanya itu menutupinya dengan permintaan maaf kepada Malaysia namun dalam hati mereka masih mencari-cari celah untuk dapat melompat dan mencuri makanan.
Mungkin juga saya berpendapat jika Malaysia memang Negara terbelakang. Ekonomi mereka saja yang maju, tapi mental mereka sama-sekali tak berkembang, dan tak dapat menciptakan inovasi-inovasi baru dan kemudian mencuri milik tetangga.
Bukti yang menyatakan pernyataan saya tersebut, adalah kasus yang baru-baru ini terjadi dan melibatkan artis-artis Indonesia dengan Timnas sepak bola Malaysia. Dalam pertandingan sepak bola artis kemarin Malaysia vs Indonesia, lagi-lagi ,negeri jiran itu melakukan tindakan konyolnya dengan memainkan pemain-pemain Timnasnya untuk melawan tim sepak bola artis Indonesia. “Sangat-amat tidak sportif!” Itu yang mungkin bisa dikatakan untuk menanggapi hal tersebut. Apalagi mengingat, permainan keras Malaysia. Memang Indonesia kalah 1-3 atas timnas Malaysia. Namun setidaknya Indonesia menang telak atas sportifitas Indonesia. Apalagi Indonesia mampu menjebol keperawanan penjaga gawang inti dari Malaysia.
Dari kasus-kasus tersebut dapat menjadi pelajaran bagi kita, tentang pentingnya semangat nasionalisme, cinta tanah air dan patriotisme. Kita tentunya berharap tidak akan lagi terjadi kasus-kasus yang merugikan Indonesia. Hal ini dapat kita siasati dengan peningkatan semua aspek kehidupan dan kenegaraan berbagsa dan berbudaya. Perlunya diperkuat budaya nasionalisme berbangsa dan bernegara dalam hati nurani kita sebagai rakyar Indonesia.

C. Analisis
Kini nasionalisme menghadapi tantangan besar dari pusaran peradaban baru bernama globalisasi. Nasionalisme sebagai basic drive serta elan vital dari sebuah bangsa bernama Indonesia sedang diuji fleksibilitasnya, dalam arti kemampuan untuk berubah sehingga selalu akurat dalam menjawab tantangan zaman. Fleksibilitas tidaklah mengurangi jiwa nasionalisme, justru sebaliknya, fleksibilitas menunjukkan begitu dalamnya nasionalisme mengakar sehingga dalam waktu bersamaan dia tetap hidup dan terus-menerus bermetamorfosis.
Pusaran ekonomi global menendang nasionalisme jauh ke pinggiran. Nasionalisme menjadi tidak relevan lagi. Di masa lalu modal terkait erat dengan rakyat. Dia memiliki tanggung jawab sosial untuk menghidupi seluruh anggota komunitas (bangsa). Namun kini, privatisasi terus-menerus menyeret modal menjauh dari dimensi sosial atau komunitasnya. Demi keuntungan yang sebesar-besarnya modal dengan cepat berlari (capital flight) ke (negara) mana pun yang disukainya.
Apakah negara hancur lebur karena krisis ekonomi atau rakyat mati kelaparan, tidak lagi dipandang sebagai tanggung jawab para pemilik modal. Banyaknya perusahaan yang melarikan modalnya ke negara lain pada saat krisis ekonomi di pertengahan 1997 dan tahun-tahun sesudahnya memberi gambaran konkret atas persoalan tersebut. Kenyataan demikian memunculkan persoalan, apakah nasionalisme masih relevan dalam pusaran ekonomi global saat ini, sebab modal finansial melepaskan diri dari keterikatannya dengan nation-state, sehingga bangsa sebagai komunitas solidaritas menjadi utopia.
Globalisasi sebagai proses de-teritorialisasi tidak hanya menimbulkan persoalan di bidang ekonomi, tetapi juga kebudayaan. Kebudayaan kerap dikaitkan dengan teritori tertentu. Ruang membentuk identitas budaya. Ini berarti nasionalisme Indonesia pun dibangun oleh kebudayaan Indonesia yang berada dalam batas-batas geografis tertentu. Itu pemahaman kebudayaan di masa lalu.
Globalisasi sebagai proses de-teritorialisasi telah mengubah semua itu. Kebudayaan tidak lagi terkungkung dalam teritori tertentu. Kini tidak sedikit anak-anak muda Kota Kembang yang lebih terampil break dance daripada jaipongan; atau lebih mahir bermain band, daripada menabuh gamelan. Kita juga bisa menyaksikan orang barat yang menjadi dalang dan piawai memetik kecapi. Kita bisa menyaksikan ibu-ibu yang setia berkebaya serta bapak-bapak yang bersarung atau berpeci, pada waktu bersamaan begitu menikmati fast food bermerek global. Kebudayaan telah melepaskan diri dari keterikatannya pada nation-state. Kenyataan ini menghadapkan nasionalisme dengan persoalan, manakah kebudayaan yang akan menjadi media berurat-akarnya nasionalisme?
Bersamaan dengan proses de-teritorialisasi dan mengglobalnya kebudayaan terjadi gerak sebaliknya berupa pencarian identitas lokal yang semakin intensif. Proses mengglobal dan melokal janganlah dipandang sebagai penyakit atau kelainan dalam budaya masyarakat tetapi mesti diterima sebagai keutamaan hidup manusia; semakin mengglobal semakin rindu akan identitas lokalnya. Gerak paradoks tersebut tampak jelas dalam bangkit dan menguatnya gerakan-gerakan etnis serta agama. Nation-state menghadapi ancaman dari berbagai gerakan partikular sehingga memicu domestic conflicts yang dapat membawa pada runtuhnya nation-state seperti yang dialami oleh bekas negara Uni Soviet. Pada titik ini nasionalisme pun dipertanyakan eksistensi dan relevansinya.
Globalisasi bidang politik mendatangkan persoalan serupa atas nasionalisme. Globalisasi telah mereduksi pentingnya lingkup politik dari nation-state yang merupakan basis bagi pembangunan sosial-politik. Peran nation-state menjadi subordinat karena diambilalih oleh lembaga-lembaga ekonomi transnasional. Jika eksistensi nation-state terpinggirkan, halnya sama dengan nasionalisme, nasionalisme menjadi ideologi yang kedaluarsa.
Dari perspektif ekonomi, budaya, dan politik global tampak bahwa nasionalisme menghadapi tantangan yang sangat besar di tengah pusaran globalisasi saat ini. Apakah ini berarti nation-state tidak relevan lagi, yang berarti tidak relevan pula membicarakan nasionalisme? Fakta menunjukkan bahwa hingga saat ini kewarganegaraan modern dengan berbagai hak sosial, politik, dan sipilnya tidaklah melampaui batas-batas nasional. Meski kini berkembang berbagai komunitas transnasional, Uni Eropa misalnya, namun seseorang yang hendak menjadi anggota terlebih dahulu mesti memperoleh kewarganegaraan dari salah satu negara anggotanya. Ini berarti di tengah arus globalisasi, peran nation-state serta nasionalisme tetap relevan dan signifikan.
Pertanyaan yang segera muncul, nasionalisme yang mana? Jika ditempatkan dalam ketegangan lokal-global, nasionalisme merupakan pencarian identitas lokal (nasional) di tengah pusaran globalisasi.
Nasionalisme sebagai identitas bukanlah "kata benda" yang bentuk dan wujudnya sudah jadi dan final. Nasionalisme merupakan "kata kerja", artinya dia adalah suatu projek yang mesti terus-menerus dikerjakan, dibangun, serta diberi dasar dan makna baru pada setiap kesempatan. Proses kerjanya dijalani lewat public critical rational discourse yang melibatkan seluruh bagian anak negeri sebagai yang sederajat tanpa mengecualikan siapapun.
Di tengah pusaran globalisasi, nasionalisme Indonesia bukan lagi memanggul senjata atau bambu runcing dengan semangat "merdeka atau mati". Nasionalisme Indonesia bukanlah patriotisme gaya Hitler atau Mussolini, juga melampaui semboyan termashur dari Perdana Menteri Britania Raya, Disraeli, "benar atau salah, negeriku selalu benar". Nasionalisme demikian oleh Mangunwijaya dimaknai sebagai nasionalisme pasca-Indonesia.
Arah nasionalisme pasca-Indonesia, menurut Mangunwijaya, akan berkembang dengan mengambil sumber dari semangat dasar nasionalisme generasi 1928; suatu nasionalisme yang berpedoman "right or wrong is right or wrong" bukan "right or wrong is my country". Hakikat nasionalisme Generasi 1928 merupakan perjuangan dan pembelaan kawanan manusia yang terbelenggu penjajahan, tertindas, miskin kemerdekaan dan hak menentukan diri sendiri.
Nasionalisme pasca-Indonesia seperti juga nasionalisme 1928 diarahkan untuk memperjuangkan hidup manusia yang termarginalisasi, teralienasi serta tak berdaya menghadapi penguasa ekonomi, politik, budaya yang lalim dan sewenang-wenang.
Bedanya, nasionalisme generasi 1928 ditujukan ke arah lawan asing dari luar, sedangkan bagi nasionalisme pasca-Indonesia yang hidup dalam pusaran globalisasi, batas-batas geopolitis semakin kabur. Perjuangan kemanusiaan, keadilan, dan kesejahteraan dari nasionalisme pasca-Indonesia tidak hanya diarahkan ke pihak-pihak asing tetapi juga ke dalam negeri sendiri, bahkan diri sendiri. Nasionalisme pasca-Indonesia merupakan perjuangan untuk meniadakan segala bentuk eksploitasi manusia (juga lingkungan hidup beserta semua penghuninya) oleh siapa pun, dari manapun dan dalam bentuk apa pun.
Nasionalisme pasca-Indonesia tidak menghabiskan "hidupnya" untuk memaksakan memilih salah satu pro atau kontra globalisasi. Bagi nasionalisme pasca-Indonesia, globalisasi merupakan proses sejarah yang tak terelakan (unevitable). Kita tidak mungkin lari apalagi menolak serta menghentikan proses globalisasi. Nasionalisme pasca-Indonesia lebih concern dengan persoalan yang lebih mendasar, yaitu bagaimana "mengawal" globalisasi supaya semakin manusiawi.
Nasionalisme Indonesia Era Reformasi kaitanya dengan Globalisasi.
Pada masa sekarang ini satu hal yang perlu dibenahi oleh bangsa Indonesia adalah mentalitas warga masyarakatnya. Sikap mental yang kuat dan konsisten serta mampu mengeksplorasi diri adalah salah satu bentuk konkrit yang dibutuhkan bangsa Indonesia pada saat ini. Saat ini memang bangsa Indonesia sedang mengalami massa-masa keterpurukanya dalam dunia intetrnasional. Krisis multidimensi yang di barengi dengan krisis ekonomi yang berkepanjanganlah yang menyebabkan kegoncangan dan keterpurukan mental Indonesia.
Bangsa Indonesia yang pada masa dahulu terkenal dengan kebudayaan yang begitu eksklusif dan memukau serta penduduk yang ramah-tamah di dukung juga oleh kondisi geografis yang sangat strategis dan dikaruniai tanah yang subur, sekarang justru berubah 180 drajat. Hal ini tidak lepas dari mentalitas warga pendukung yang sangat lemah. Tak ada lagi terlukiskan semangat-semangat nasionalisme dalam diri Indonesia. Mereka seakan lupa akan perjuangan para pahlawan-pahlawan bangsa yang telah mengorbankan tidak hanya harta bendanya tetapi mereka juga mengorbankan nyawa dan keluarga mereka. Sungguh besar jassa mereka, sungguh tinggi jiwa nasionalisme mereka, dan sungguh jauh jika dibandingkan dengan bangsa Indonesia pada masa sekarang ini.
Tidak ada lagi jiwa nasionalis yang dapat ditunjukan kita, kita seakan malah menganggap remeh mereka para pejuang yang telah berjasa kepada kita. Hal ini dapat kita buktikan bahwa pemerintah tetrkesan kurang memperhatikan nasib para veteran.
Kita seakan tenggelam, dalam gemerlapnya harta. Globalisasi dan kapitalisme mengubah mentalitas kita menjadi sangat jauh dengan mental nasional kita. Banyak diantara kita yang rela menjual tanah airnya, hanya karena sedikit kemewahan dari negeri orang. Mereka justru membangga-banggakan negeri orang lain disbanding negerinya sendiri. Sebagai contoh yang dapat menunjukan hal seperti ini adalah penduduk Indonesia pada saat ini justru lebih senang menggunakan produk luar dari pada memakai produk buatan sendiri. Memang produk luar secara kualitas lebih menjalin, bangsa Indonesia belum mampu bersaing untuk menciptakan suatu tekhnologi yang canggih untuk menciptakan produk yang berkualitas. Tapi sikap masyarakat yang lebih mencintai produk luar sangatlah tidak dibenarkan. Mereka tidak memikirkan dampak negatifnya.
Dampak negatifnya antara lain adalah bangsa Indonesia jistru akan lebih tertinggal dengan Negara lain, sebab warga negaranya yang diharapkan dapat mendukung perkembangan tekhnologi di Indonesia malah justru meninggalkanya dan lari kepada Negara lain yang lebih maju. Dalam hal ini bangsa Indonesia terkesan egois, dan secara kasar warganya dapat dikatakan sebagai penghianat bangsa.
Kasus Ambalat muncul seiring dengan lepasnya Sipadan-Ligitan lewat Mahkamah Internasional tahun 2002. Kasus ini sebagai bukti kegagalan pemerintah dalam memberikan perhatian yang serius terhadap pulau-pulau kecil perbatasan dan wilayah perairan di dalamnya. Berdasarkan daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia telah diundangkan pada peraturan Nomor 38 tahun 2002 terdapat 183 titik dasar (TD) dan lebih dari 50 persen TD berada di pulau-pulau kecil atau berjumlah sekitar 92 pulau kecil. Dari 92 Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT) terdapat sekitar 88 pulau yang berbatasan langsung dengan negara tetangga. Berdasarkan data DKP, 21 pulau berbatasan dengan Malaysia, 25 dengan Australia, 12 dengan Filipina, 11 dengan India, 7 dengan Palau, 5 dengan Timor Leste, 4 dengan Singapura, 2 dengan Vietnam dan 1 dengan Papua New Guinue. Sebanyak 50 persen berpenduduk dengan luas wilayah 0,02-200 km2, sisanya belum berpenduduk.
Pulau-pulau tersebut mempunyai nilai strategis bagi eksistensi dan kedaulatan bangsa Indonesia sekaligus juga merupakan sumber baru pertumbuhan ekonomi bangsa. Terdapat tiga fungsi penting PPKT tersebut. Pertama, sebagai fungsi pertahanan dan keamanan. PPKT memiliki peran penting keluar masuknya orang dan barang. Praktik-praktik penyelundupan senjata, barang-barang illegal, obat-obatan terlarang, pemasukan uang dolar palsu, perdagangan wanita, pembajakan, pencurian hasil laut dan menjadi lalu lintas kapal-kapal asing.
Contoh Pulau Miangas dan Palmas, yang sampai kini masih dipersoalkan Filipina. Kedua, sebagai fungsi ekonomi. Sangat jelas PPKT ini memiliki peluang dikembangkan sebagai wilayah potensial industri berbasiskan sumberdaya seperti industri perikanan, pariwisata bahari, industri olahan dan industri-industri lainnya.
Ketiga ; sebagai fungsi ekologi. Ekosistem pesisir dan laut PPKT dapat berfungsi sebagai pengatur iklim global, siklus hirologi dan biokimia, sumber energi alternatif, sumber plasma nutfah dan sistem penunjang lainnya. Kasus Ambalat mem-buktikan batas wilayah Indonesia-Malaysia belum diatur. Juga batas wilayah dengan negara lainpun belum diatur oleh Indonesia dan negara bersangkutan. Penataan batas wilayah penting segera dilakukan karena menyangkut wilayah pengelolaan sumber daya laut sekaligus mempertahankan wilayah NKRI.
Dari rezim hukum laut yang ada, terdapat beberapa rezim yang belum diatur antara lain pertama, zona tambahan (contingues zone). Zona ini merupakan zona pelindung atau sea belt. Indonesia memiliki kewenangan dalam kegiatan imigrasi, kemaritiman dan bea cukai. Wilayah ini diukur 24 mil dari garis pantai terluar atau 12 mil dari sisi terluar laut teritorial. Sampai saat ini Indonesia belum meng”undang”kan zona tambahan.
Kedua, wilayah laut lepas. Wilayah perairan ini berada di luar Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE). Penataan zona ini akan berdampak kepada pemberian izin bagi nelayan negara lain untuk beroperasi di perairan Indonesia. Sampai saat ini Indonesia belum pernah melapor dan memberitahu batas wilayah laut lepas ini.
Ketiga, wilayah landas kontinen (continental shelf). Wilayah ini merupakan dasar laut yang ada di sisi luar garis pangkal atau mengarah ke luar garis pangkal kepulauan. Di wilayah ini Indonesia dapat melakukan penelitian, ekplorasi ikan dan aktivitas lainnya. Sampai saat ini Indonesia belum melakukan pengakuan di mana batas landas kontinentalnya.
Kasus Ambalat tentu harus diselesaikan secara damai. Pengerahan angkatan perang AL telah menunjukkan keseriusan Indonesia dalam menjaga wilayahnya. Setidaknya terdapat beberapa langkah lain yang dipandang perlu dilakukan.
Pertama, diplomasi langsung antar pemerintah, kalau perlu antarkepala negara tanpa harus merasa rendah diri. Hal ini penting segera dilakukan karena peluang Malaysia mendapatkan Ambalat terbuka lebar, belajar dari skema penyelesaian Sipadan-Ligitan. Diplomasi dilakukan dengan tetap menggunakan landasan internasional. Langkah pertama ini harus dengan tegas dan kalau perlu Indonesia harus ngotot mempertahankannya.
Kedua, pemberdayaan Pulau-Pulau Kecil Perbatasan. Tugas ini menjadi kewajiban Departemen Kelautan dan Perikanan. Sampai saat ini pemberdayaan PPKT belum optimal dan masih banyak yang berupa profil pulau-pulau kecil. Ketiga, pengawasan dan pengamanan kawasan laut terpadu. Pengerahan satuan keamanan laut harus dilakukan secara terpadu dengan sistem yang terkoordinir secara terpusat. Dengan keterbatasan kapal pengaman diperlukan strategi yang efektif. Penempatan kapal-kapal TNI AL di laut perbatasan dan koordinasi antarpihak dapat menjadi solusi untuk efektifitas pengamanan laut Indonesia.

D. Kesimpulan
Nasionalisme adalah paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Nasionalisme merupakan rasa cinta terhadap tanah air dan gambaran semangat juang bangsa dalam mempertahankan hak-hak bangsanya sebagai bangsa yang berdaulat.
Bentuk-bentuk dari gambaran jiwa nasionalis yang dapat digambarkan pada era yang sekarang ini diantaranya dengan keteladanan, keuletan dan semangat juang yang tinggi, yang diperlihatkan dalam proses belajar mengajar oleh guru dan siswa yang mana mereka berjuang untuk masa depan bangsa yang lebih baik. Juga diwujudkan dalam bentuk kebudayaan dan seni yang mana mereka selalu berusaha dan berjuang untuk mempertahankan melestarikan dan membudayakan kebudayaan derah mereka.
Gambaran tersebut terlihat dari kasus-kasus yang melibatkan Indonesia dengan Negara tetangga, dimana Indonesia dengan segala komponen yang ada didalamnya berjuang mempertahankan hak-haknya yang akan dirampas Negara lain. Tentunya bagi kita generasi penerus dapat mengambil pelajaran dari kasus-kasus tersebut demi menegakan kebenaran dan keadilan. Menyikapi kesewenang-wenangan negara Malaysia, jiwa dan budaya nasionalisme dalam diri saya sebagai penulis rasanya tidak bisa menerima begitu saja perlakuan yang diberikan oleh negara tersebut. Bahkan kalau para pemimpin negeri ini berani bersikap tegas, dan menyatakan perang terhadap Malaysia, “Saya siap dan berani mengorbankan segenap jiwa dan raga demi menegakkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Sedikitpun tidak ada keraguan dalam diri saya untuk berpikir dua kali atas sikap saya tersebut. Rasa nasionalisme yang diwujudkan dengan budaya cinta tanah air harus ditanamkan sedari dini, agar tidak semua orang dengan gampangnya melecehkan harkat dan martabat serta hagra diri bangsa Indonesia.

Daftar Bacaan

Damono, S.Dj. 2001. “Catatan Kecil tentang Kebudayaan dan Keutuhan Bangsa”, dalam Sedyawati (peny.): 122—33.

Edgar H. Schein 2001, Conflict Resolution: Theory, Research, and Practice. Albany: State University of New York Press

Graves, 1986 Managing Conflict in the Post-Cold War World: The Role of Intervention. The Aspen Institute. Washington, D.C.

James G. Kellas (1998: 4), Nationalism and Social Communication. Cambridge: The MIT Press.

Johann Gottfried von Herder 2006, Conflict Management over Natural Resources Capacity Building Program under the Community-Based Rural Development Program Project. FAO. Rome

Lauer, Robert. H. 2001. Perspektif tentang Perubahan Sosial (Terj.). Jakarta: Rineka Cipta.

Liliweri, Alo. 2005. Prasangka dan Konflik, Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. Yogyakarta: LKiS.

Vijay Sathe, 1999, Natural Resources Conflict Resolution: Water, Science, and The Search for Common Ground. 1st Australian Natural Resources Law and Policy Conference. Canberra

www.gooogle.com//nasionalisme Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar