Minggu, 31 Januari 2010

KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH DALAM PERSPEKTIF DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

PENDAHULUAN
Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah (Destoda) menjadi tantangan bagi setiap daerah untuk semakin nyata memanfaatkan peluang kewenangan yang diperoleh serta tantangan untuk mengembangkan kapasitas otonomi yang dimiliki. Satu hal yang pasti, bahwa bila selama ini kendala kewenangan dan kapasitas kemandirian daerah dikeluhkan, maka era dewasa ini adalah benar-benar merupakan kesempatan untuk mengembangkan inisiatif, prakarsa dan kreativitas daerah, baik melalui kebijaksanaan perencanaan program maupun aspek kebijaksanaan keuangan daerahnya.
Sejauh ini, manajemen keuangan daerah, khususnya mengenai pembiayaan penyelenggaraan pemerintah daerah, meskipun sudah menampakkan peran serta dan partisipasi masyarakat, namun pada umumnya belum ditampakkan secara gamblang dan rinci sejak proses perencanaan. Peranan masyarakat luas, khususnya dunia usaha dalam total pembiayaan penyelenggaraan pemerintah daerah masih ditempatkan sebagai “faktor residu”, sebagai selisih antara total kebutuhan pembiayaan penyelenggaraan pemerintah daerah dan kemampuan pembiayaan oleh sektor pemerintah secara keseluruhan. Sebuah tantangan mamasuki era Destoda, dimana faktor residu tersebut sudah perlu dieksplisitkan dan dijabarkan secara nyata dalam proses perencanaan.
Apalagi dalam perspektif serta arah pengembangan pembangunan bidang politik ke depan, telah menempatkan peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang semakin nyata dan terbuka. Dimana, menuntut lahirnya kerangka kebijaksanaan pemerintah daerah terutama pembiayaan penyelenggaraan pemerintah daerah yang terbuka dan bukan merupakan “domain” sektor pemerintah saja. Karenanya, pemerintah daerah perlu memfasilitasi kegiatan bersama, baik dengan pemerintah maupun dengan masyarakat ke dalam bentuk penyediaan alokasi dana pendampingan dan pelayanan publik lainnya.
Historia manajemen keuangan daerah di Indonesia menunjukkan, sebelum memasuki era Destoda fokus perhatiannya diarahkan pada peningkatan penerimaan daerah, baik melalui kegiatan intensifikasi maupun melalui kegiatan ekstensifikasi perpajakan. Bahkan pada saat UU No. 22/1999 yang saat ini lagi dipersiapkan naskah revisinya tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 yang juga siap-siap untuk direvisi tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah diimplementasikan, manajemen keuangan diidentifikasi sebagai upaya-upaya yang harus dilakukan untuk meningkatkan penerimaan daerah. Sehingga amanat penting yang menjadi pesan dari UU tersebut, dalam implementasi kebijaksanaan keuangan daerah yang menitik-beratkan pada aspek alokasi dan pengeluaran daerah, menjadi terabaikan. Sebagaimana yang diatur dalam UU No. 22/1999 yang kemungkinan besar hal sama tidak akan berupa pada UU hasil revisi nantinya, kewenangan moneter dan fiskal masih merupakan kewenangan pemerintah pusat dan bukan pemerintah daerah, selain hal-hal yang telah didesentralisasikan (desentralisasi fiskal). Dimana desentralisasi di bidang fiskal ini lebih menitikberatkan pada proses pengeluaran keuangan daerah dan tetap membatasi daerah dalam proses penerimaannya.
Hal itu berarti, pemerintah daerah tidak banyak memiliki kewenangan untuk mendorong penerimaan daerah melalui beban pajak dan retribusi daerah kepada masyarakatnya. Karena dengan kebijaksanaan yang membebani masyarakat melalui berbagai pungutan tersebut, akan cenderung berdampak mematikan aktivitas ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Pemerintah daerah hendaknya secara cermat membatasi kebijaksanaan-kebijaksanaannya yang berorientasi peningkatan tarif pajak dan retribusi demi peningkatan penerimaan daerah, karena peningkatan tarif akan merugikan masyarakat. Perlu kiranya dipikirkan oleh pemerintah daerah, bagaimana upaya untuk menumbuhkan aktivitas ekonomi daerah, membuka jaringan distribusi barang dan jasa melalui penciptaan infrastruktur perdagangan, sehingga perekonomian daerah meningkat dan pada gilirannya pajak dan retribusi daerah menjadi lebih meningkat.
Mengenai hal tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh Suhab (1997; 7) dengan mengutip World Bank (1994) secara spesifik merekomendasikan dua hal pokok, yakni (1) pengalokasian anggaran belanja pemerintah daerah pada kegiatan pembangunan yang mempunyai “cost recovery” tertinggi dan (2) pengalokasian anggaran-belanja daerah pada kegiatan pembangunan yang mampu merangsang penerimaan daerah. Dengan demikian, kehadiran UU No. 25/1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, telah memberi ruang gerak yang lebih besar bagi pemerintah daerah untuk menata secara lebih mendasar, tetapi komprehensif, kerangka pengelolaan dan implementasi penyelenggaraan roda pemerintahan, dengan mengacu pada dua hal pokok tersebut di atas.
Sifat atau nilai kemandirian, serta tuntutan kreativitas yang dimiliki dan dikembangkan oleh setiap daerah otonom yang dewasa ini telah menjadi magic word pada setiap pidato dan pengarahan kepala daerah, semakin mempertegas tuntutan untuk lebih meningkatkan dan menjamin terdapatnya seperangkat strategi pembiayaan penyelenggaraan pemerintah daerah yang benar-benar terarah, menyeluruh dan terpadu. Sehingga dapat secara efisien memanfaatkan setiap sumberdaya yang ada dan mampu dikreasikan secara efektif untuk mencapai tujuan yang ingin dicapainya. Hal ini berimplikasi pada diperlukannya pengujian dan pencermatan pada berbagai hal berkaitan dengan kebijaksanaan keuangan daerah. Pertama, apakah strategi yang ada selama ini masih cukup memadai dan bisa dipertahankan dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, dimana akan semakin meningkat bobot dan intensitasnya. Atau, kedua, sudah diperlukan upaya-upaya sistematik dan serius yang diharapkan dapat secara signifikan menuntun penyelenggaraan pemerintah daerah yang telah dicapai saat ini, dimana ingin dipertahankan bahkan secara sustainable akan terus ditingkatkan.
Keadaan tersebut tidak lantas membuat setiap daerah otonom harus berlama-lama menengok ke belakang dan menyesali apa yang telah dilakukannya, tetapi diperlukan komitmen yang kuat dan political will untuk menyadari kondisi kekinian dan berbuat untuk kemajuan dan perkembangan daerah ke depan. Karena pada saat yang sama, paradigma perencanaan keuangan pemerintahan daerah, terus diperhadapkan pada tuntutan masyarakat yang semakin besar terhadap pelayanan publik yang efisien, efektif, ekonomis, responsive, transparan dan akuntabel. Hal tersebut semakin dipertegas oleh pemerintah melalui Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Keputusan Menteri, yakni: Pertama, UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara. Kedua, PP No. 105/2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, yang secara spesifik disebutkan pada pasal 8 yang berbunyi bahwa “APBD disusun dengan pendekatan kinerja”, dan disyaratkan pada pasal 20 ayat 2: “untuk mengukur kinerja keuangan pemerintah daerah dikembangkan Standar Analisa Biaya (SAB), tolok ukur kinerja dan standar biaya”. Ketiga, Kepmendagri No. 29/2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Berbagai perspektif berpikir tersebut di atas, hendaknya mampu menuntun setiap daerah otonom untuk menemukan kerangka dasar dalam menyusun rumusan kebijaksanaan keuangan daerah melalui kebijaksanaan operasional tahunan penyelenggaraan pemerintah daerah ke dalam APBD berbasis kinerja. Hal ini penting, mengingat sistematika berpikir tersebut, secara normatif paling tidak didasari oleh berbagai konsepsi hipotesis ideal yang berkembang selama ini. Secara umum di Indonesia, peranan sektor pemerintah di daerah masih sangat penting, hanya saja masih memiliki ketergantungan yang besar pada alokasi sektoral serta bantuan dan subsidi dari pemerintah pusat untuk pembiayaan pemerintahan daerahnya. Kenyataan seperti ini hendaknya dicermati dalam pelaksanaan Destoda dewasa ini, dimana banyak mengalami pergeseran dan perubahan secara drastis. Dapat dikatakan bahwa sebelum lahirnya UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999, Destoda lebih banyak dikumandangkan sebagai “hak” yang harus diperoleh oleh daerah. Saat ini, Destoda sudah perlu lebih ditonjolkan dalam wujud dan pencerminan “tanggung jawab”, yang secara terukur dan perlu secara terbuka untuk dinilai oleh masyarakat luas, dan untuk itulah kebijaksanaan keuangan daerah yang akuntabel dengan mengedepankan prinsip penyusunan anggaran yang cermat, konsisten dan disiplin diperlukan.

APBD DAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
Kebijaksanaan operasional keuangan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah merupakan muara dari seluruh rangkaian kebijaksanaan perencanaan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintah daerah. APBD sebagai wujud kebijaksanaan keuangan pemerintah daerah, merupakan derivasi dari dokumen-dokumen perencanaan yang secara sistematis dilahirkan sebelumnya. Karenanya, APBD sebagai suatu rangkaian kebijaksanaan operasional daerah memiliki peran simpul di dalam menjaga konsistensi dan keutuhan antar dokumen-dokumen perencanaan daerah, sehingga antara satu dokumen perencanaan dengan dokumen perencanaan lainnya tidak dapat terpisahkan. Fungsionalisasi APBD tersebut, secara cermat sistematikanya dapat dinarasikan ke dalam tiga hal pokok, berikut ini: Pertama, APBD dan konsistensinya dengan dokumen perencanaan pembangunan daerah lainnya. Kedua, mekanisme penyusunan arah dan kebijakan umum APBD. Ketiga, mekanisme penyusunan APBD.

APBD dan Konsistensi Dokumen Perencanaan Daerah
Sistematika, proses dan mekanisme perencanaan pembangunan daerah dalam perspektif Destoda, hendaknya memperlihatkan perencanaan daerah secara terpadu dan terintegrasi antara kebijaksanaan perencanaan program dan kebijaksanaan pembiayaan penyelenggaraan pemerintah daerah. Kedua kebijaksanaan daerah tersebut dipayungi oleh gambaran kesuksesan daerah dalam suatu jangka waktu tertentu yang terumuskan melalui visi daerah serta derivasinya pada visi kepemimpinan daerah. Dimana visi daerah bersangkutan, pada satu sisi dituntun oleh kepentingan nasional yang harus “dikontribusi” oleh daerah tersebut. Pada saat yang sama, terdapat hal-hal spesifik daerah yang akan mendorong kemajuan daerah dan masyarakat, dan pada hal-hal yang spesifik inilah hendaknya mampu diterjemahkan ke dalam visi kepemimpinan, berdasarkan periode kepemimpinan daerah masing-masing.
Visi daerah yang dimuat dalam Pola Dasar (POLDAS) dan dipertajam melalui rumusan visi kepemimpinan periode berjalan, diderivasi ke dalam kebijaksanaan operasional tahunan yang merupakan issu serta agenda utama yang akan dijalankan dalam jangka waktu satu tahun penyelenggaraan pemerintahan daerah ke depan. Dengan mempergunakan arahan spasial dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), issu dan agenda utama, sasaran dan tujuan program indikatif tersebut dirumuskan oleh pemerintah daerah ke dalam bentuk Program Pembangunan Daerah (PROPEDA). Formulasi Propeda ini memiliki kesetaraan dengan Rencana Strategis (Renstra) pemerintah daerah (sebagian daerah menyebutnya sebagai Renstrada), dimana secara sistematik diverivasi dari visi kepemimpinan kepala daerah periode berjalan. Dokumen perencanaan Propeda dan Renstra Pemda inilah yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah untuk difasilitasi dan diimplementasikan ke dalam kebijaksanaan yang lebih operasional dan implementatif. Kebijaksanaan operasional tahunan yang dijabarkan ke dalam program, target program dan rincian kegiatan tahunan hendaknya mengacu pada variabel antara (intermediate variable) yang diperankan oleh dokumen perencanaan Renstra Unit Kerja masing-masing. Renstra Unit Kerja ini merupakan operasionalisasi dan penjabaran dari Renstra Pemerintah Daerah.
Jadi, kebijaksanaan operasional tahunan pemerintah daerah dalam bentuk dokumen perencanaan Rencana Pembangunan Tahunan Daerah (REPETADA) tersebut merupakan penjabaran dan derivasi, baik dari Propeda maupun dari Renstra Unit Kerja. Berdasarkan pada Repeta dan Rencana Tahunan Unit Kerja yang dijabarkan dari Renstra masing-masing unit kerja, pemerintah daerah menyusun kebijaksanaan keuangan daerah yang dituangkan dalam RAPBD/APBD. Dokumen perencanaan RAPBD/APBD tersebut akan memuat dua aspek pokok, yakni (i) kebijaksanaan keuangan dalam bentuk Nota Keuangan, dan (ii) penjabaran RAPBD/APBD berupa rincian kegiatan, kegiatan prioritas dan target-target kegiatan tahunan pemerintah daerah. Hal itu berarti kebijaksanaan keuangan daerah yang dituangkan dalam RAPBD/APBD bukan hanya memuat aspek penerimaan daerah, tetapi yang lebih penting bagaimana menyusun alokasi pembiayaan yang dalam perspektif desentralisasi dan otonomi daerah, lebih mengedepankan kegiatan pemerintah daerah yang mampu merangsang penerimaan daerah lebih lanjut. Dalam konteks berpikir inilah, substansi pemikiran untuk mengimplementasikan RAPBD/APBD berbasis kinerja dalam “mengawal” pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah menjadi signifikan keberadaannya.

Mekanisme Penyusunan Arah dan Kebijaksanaan Umum APBD
Sistematika berpikir sebagaimana yang tertuang melalui keterkaitan dokumen perencanaan tersebut di atas, memvisualisasikan posisi penting dan strategisnya kebijaksanaan keuangan daerah dalam implementasi penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kebijaksanaan keuangan daerah yang dituangkan dalam APBD harus dapat dipayungi oleh “arah dan kebijaksanaan umum APBD”, yang merupakan kesepakatan antara legislatif dengan eksekutif, dan sebagai lembaran daerah yang harus dipertanggungjawabkan secara bersama ke hadapan masyarakatnya dan pemilihnya. Arah dan kebijaksanaan umum (AKU-APBD) inilah sebagai pengantar dan dijabarkan ke dalam bentuk “nota keuangan” dalam APBD yang merupakan pedoman dan “payung” dalam penyusunan penjabaran APBD. Karenanya, pembahasan penjabaran APBD antara eksekutif dan legislatif, secara ideal tidak lagi membutuhkan waktu yang panjang dan berbelit-belit, pembahasan AKU-APBD-lah yang akan membutuhkan waktu yang panjang dan menyita perhatian eksekutif dan legislatif, karena akan disorot oleh publik. Hal ini harus ditempuh, mengingat tuntutan yang demikian besar untuk dapat mempertemukan dan merumuskan berbagai aspirasi dari para stakeholder penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk periode satu tahun berjalan ke depan. Memasuki pembahasan RAPBD, nota keuangan yang dijabarkan dan diderivasi dari AKU-APBD ini, hendaknya menjadi bagian penting dan perhatian utama dalam mempertemukan konsep kebijakan keuangan eksekutif dengan aspirasi masyarakat luas yang menjadi pemilih bagi para anggota legislatif. Hal itu berarti, legislatif sebagai pembawa aspirasi masyarakat luas, idealnya lebih banyak menyorot nota keuangan ini karena berkaitan langsung dengan kebijaksanaan yang akan mengantarkan pemerintah daerah dalam mengimplementasikan kesejahteraan masyarakat dan pelayanan publik. Legislatif “semestinya” menghindari untuk “terjebak” ke dalam pembahasan secara berkepanjangan ke dalam item-item batang tubuh RAPBD, yang tidak lain berupa teknis dan perincian pembiayaan pada item-item kegiatan pemerintah daerah untuk pencapaian dan implementasi kebijaksanaan yang telah ditetapkan secara bersama.
Mekanisme dan sistematika berpikir dalam rangka penyusunan arah dan kebijaksanaan umum APBD ini, sebagaimana yang dituangkan dalam Kepmendagri No. 29/2002 memberikan gambaran dan penekanan pada pentingnya “mengantar” penyusunan RAPBD/APBD dengan kebijaksanaan pemerintah atasan, dokumen-dokumen perencanaan yang telah ada sebelumnya dan aspirasi masyarakat luas. Pertama, kebijaksanaan pemerintah atasan, dimana meskipun pemerintah daerah otonom kabupaten/kota tidak memiliki hubungan hirarkial dengan pemerintah propinsi, tetapi (i) pemerintah propinsi merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat di wilayahnya, sehingga baik secara struktural maupun secara kewilayahan antara pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah propinsi memiliki korelasi dan interdependensi yang sangat signifikan. (ii) Pemerintah daerah kabupaten/kota sebagai daerah otonom, salah satu fungsi pemerintahan daerah yang mestinya dijalankan adalah mampu mengakses kebijaksanaan, program dan bahkan kegiatan pemerintahan di atasnya, agar dapat memperbesar kontribusi daerah otonom dalam pencapaian pembangunan wilayah dan bahkan pembangunan nasional. Karenanya, kebijaksanaan pemerintah atasan menjadi penuntun dan sebagai data historis bagi pemerintah daerah dalam menjaring aspirasi masyarakat dan membangun kesepakatan dengan legislatif dalam menetapkan AKU-APBD.
Kedua, Renstrada (atau Renstra Pemda) bersama dengan dokumen-dokumen perencanaan daerah lainnya, bukan hanya menjadi menntun pemerintah daerah (eksekutif), tetapi juga menjadi acuan utama bagi DPRD (legislatif) untuk membangun kesepakatan dalam penyusunan AKU-APBD. Karenanya dokumen-dokumen perencanaan daerah yang dimaksudkan disini paling tidak yang disyahkan sebagai lembaran daerah, dimana DPRD juga ikut terlibat dalam penetapannya sehingga juga ikut bertanggung jawab penuh dalam pengawasan implementasi pelaksanaan dalam masyarakat.
Ketiga, masyarakat sebagai sumber aspirasi, baik bagi eksekutif (pemerintah daerah) maupun bagi legislatif (DPRD). Komponen-komponen yang dilibatkan dalam penjaringan aspirasi ini antara lain: tokoh masyarakat, LSM, organisasi masyarakat, asosiasi profesi, perguruan tinggi dan lain sebagainya. Mekanisme penjaringan aspirasi masyarakat ini, secara sistematik juga memiliki sistem penjaringan tersendiri.
Keempat, Pemerintah Daerah dan DPRD, baik secara simultan maupun secara parsial berusaha membangun kesepakatan, sesuai dengan referensi yang dimiliki masing-masing seperti kebijaksanaan pemerintah atasan, dokumen-dokumen perencanaan daerah dan aspirasi masyarakat luas. DPRD dengan berdasarkan referensi dari dokumen-dokumen perencanaan daerah, aspirasi masyarakat luas, senantiasa secara cermat menyampaikan pokok-pokok pikiran kepada pihak pemerintah daerah. Pada sisi yang lain, pemerintah daerah melalui referensi data historis yang dimiliki dari kebijaksanaan pemerintah atasan dan dokumen-dokumen perencanaan daerah yang telah disusun sebelumnya, memperkuat aspirasi masyarakat yang telah terjaring melalui mekanisme yang tentunya aspiratif. Dua sisi yang berbeda ini, eksekutif dan legislatif, masing-masing “mengklaim” memiliki tujuan dan nurani yang sama dalam memajukan daerah dan masyarakatnya, melalui wujud kesepakatan bersama dalam rumusan arah dan kebijaksanaan umum APBD untuk satu tahun periode yang akan berjalan.

Penyusunan APBD
Rumusan arah dan kebijaksanaan umum APBD sebagai hasil kesepakatan bersama antara pemerintah daerah dan DPRD menjadi entry point dalam penyusunan RAPBD/APBD untuk periode waktu yang sama. AKU-APBD tersebut, harus dapat terukur, rumusannya harus jelas dan tegas, sehingga menjadi referensi utama bagi pemerintah daerah melalui Tim Anggaran Eksekutif (TAE) dalam merumuskan strategi dan prioritas APBD. Strategi dan prioritas APBD tersebut, oleh TAE diserahkan kepada DPRD melalui Panitia Anggaran Legislatif (PAL) untuk dibahas lebih lanjut, baik pada tingkat fraksi hingga pada paripurna DPRD. Dalam pembahasan strategi dan prioritas APBD oleh DPRD melalui PAL ini, AKU-ABPD yang telah disepakti dengan pihak pemerintah daerah dijadikan sebagai referensi utama, sehingga mekanisme dan konsistensi kebijaksanaan dengan strategi dan prioritas kegiatan pemerintah daerah akan tetap terjaga dengan baik.
RAPBD/APBD yang telah dirumuskan oleh pemerintah daerah melalui TAE yang
minimal dari unsur-unsur Dinas Pendapatan Daerah (Badan Pengelola Keuangan Daerah), Bappeda dan Biro Keuangan Sekretariat Daerah, akan membahas dua hal pokok yakni nota keuangan dan batang tubuh. Nota keuangan, memaparkan kebijaksanaan-kebijaksanaan penting menyangkut keuangan daerah, baik dari sisi penerimaan maupun pada sisi pembiayaan kegiatan pemerintah daerah. Sedangkan batang tubuh, memaparkan rincian kegiatan prioritas, target-target kegiatan yang ingin dicapai beserta dengan rincian besaran angka dan sumber penerimaan serta besaran angka dan alokasi pengeluaran pemerintah daerah selama periode waktu satu tahun. Dua hal pokok inilah yang selanjutnya diserahkan untuk dibahas dengan memakai pola dan mekanisme tersendiri baik pada tingkat PAL, Fraksi maupun melalui Rapat Paripurna DPRD untuk ditetapkan sebagai Peraturan Daerah.
Secara khusus, tugas dan tanggung jawab DPRD yang berkaitan dengan APBD ini, sebagaimana UU No. 22/1999, Pasal 18 Ayat 1 berbunyi: “DPRD mempunyai tugas dan wewenang: ........ butir e: bersama ....... menetapkan APBD, butir f: melaksanakan pengawasan terhadap: f.3: pelaksanaan APBD dan f.4: kebijakan pemda”. Mencermati tugas dan wewenang DPRD yang berkaitan dengan APBD tersebut, DPRD nampak jelas memiliki tanggung jawab dalam “menetapkan” dari RAPBD menjadi APBD, yang selanjutnya memiliki kewajiban dalam melakukan pengawasan terhadap dua hal pokok, yakni kebijaksanaan pemda dan pelaksanaan APBD. Dalam hal kebijaksanaan Pemerintah Daerah, khususnya menyangkut kebijaksanaan keuangan daerah yang hendaknya menjadi perhatian utama DPRD dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat luas.
Penyusunan RAPBD/APBD dalam perspektif Destoda ini, sebagaimana amanat dari UU No. 17/2003, PP No. 105/2000 dan Kepmendagri No. 29/2002 hendaknya mempergunakan pendekatan kinerja, yang selanjutnya dikenal dengan istilah “APBD Berbasis Kinerja”. Dengan demikian, sejumlah wawasan dasar yang hendaknya dimiliki dan sejumlah prinsip-prinsip dasar yang hendaknya diperhatikan dalam penyusunan RAPBD/APBD oleh PAE dan pembahasan RAPBD/APBD oleh PAL. Wawasan dan prinsip dasar ini bahkan sudah menjadi aksioma yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan dan pembahasan RAPBD/APBD berbasis kinerja.
Pertama, perlu dipahami bahwa terjadi perubahan mendasar dalam pengelolaan keuangan daerah, dimana esensi perubahannya terletak pada pentingnya perubahan pola pikir, baik oleh pihak eksekutif maupun legislatif.
Kedua, prinsip penyusunan anggaran hendaknya memperhatikan prinsip kecermatan, konsistensi dan kedisiplinan anggaran serta asas keadilan masyarakat dan kepatutan.
Ketiga, transparansi dan akuntabilitas anggaran hendaknya menjadi pertimbangan, terutama dengan didasarkan atas kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh daerah otonom.
Keempat, dalam penyusunan dan pembahasan anggaran baik pihak pemda maupun DPRD hendaknya jangan terperangkap dalam “money illusion”, dimana daerah otonom merasa banyak memiliki uang dan merasa kaya, sehingga cenderung tidak efisien dan efektif dalam pengalokasian dan pengelolaan keuangan daerah.
Kelima, karenanya, baik pada rumusan kebijaksanaan maupun dalam penjabaran prioritas dan target kegiatan, disyaratkan agar dapat dirumuskan secara jelas, tegas, sehingga dapat terukur kinerja pencapaiannya.

STRUKTUR APBD BERBASIS KINERJA
Esensi perubahan yang terjadi dalam wawasan dan prinsip dasar penyusunan APBD sebagaimana disebutkan di atas, membawa konsekuensi pada perubahan baik azas dan prinsip penyusunan maupun berkaitan format dan struktur APBD. Pertama, dari segi azas penyusunan, terjadi pergeseran azas anggaran berimbang dan dinamis kepada azas anggaran surplus/defisit. Kedua, pada aspek format APBD, secara teknis dalam sistem akuntansi keuangan daerah, terjadi pergeseran dari T-Account kepada I-Account. Ketiga, prinsip penyusunan anggaran, yang sebelumnya menganut line-item budget, incremental, orientasi pada input dan fragmented bergeser menjadi performance budget, mempergunakan standar pelayanan, orientasi pada output dan outcomes serta integrated. Keempat, dengan berbagai pergeseran tersebut berimplikasi kuat pada struktur APBD berbasis kinerja, yakni dari struktur lama yang terdiri atas penerimaan (penerimaan dalam negeri = PAD dan dana transfer pemerintah pusat serta penerimaan pembangunan) dan pengeluaran (yang terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan, termasuk di dalamnya adalah penerimaan dari pinjaman danbantuan luar negeri), dimana dengan format T-Account, kedua komponen penerimaan dan pengeluaran ini harus selalu berada dalam keadaan berimbang, bergeser menjadi struktur yang baru berupa I-Account yang terdiri atas pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan pemerintah daerah.
Secara rinci komponen-komponen dalam APBD tersebut, dapat dicermati sebagai berikut: Pertama, pendapatan daerah (bukan penerimaan daerah), dikelompokkan ke dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan dan Lain-Lain Pendapatan Yang Sah. PAD terdiri atas komponen-komponen pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba BUMD serta lain-lain PAD. Pada komponen-komponen PAD inilah daerah otonom memiliki kewenangan yang luas untuk mengkreasikan penerimaannya, baik secara ekstensifikasi maupun secara intensifikasi sumber-sumber penerimaan. Sedangkan dana perimbangan terdiri atas: bagi hasil, dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK). Dana bagi hasil daerah meliputi pajak bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) dan penerimaan dari Sumber Daya Alam (SDA). Pada komponen PAD ditambah dengan Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (DBHPBP) inilah yang merupakan indikator fiscal capacity bagi setiap daerah. Fiscal capacity ini merupakan indikator utama dalam mengukur kemampuan pemerintah daerah untuk membiayai sendiri kegiatan pemerintahan daerah yang dijalankan, tanpa tergantung bantuan dari luar, termasuk dari pemerintah pusat.
DAU dan DAK merupakan alokasi pembiayaan daerah yang termuat dalam APBN yang dimaksudkan untuk membantu pembiayaan pemerintahan daerah baik secara umum, maupun secara khusus. Dimana DAU memiliki tujuan utama untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, sedangkan DAK dialokasikan kepada daerah dengan tujuan untuk membantu pembiayaan daerah dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan khususnya. Sedangkan lain-lain pendapatan yang sah, dapat berupa dana kontinjensi atau dana penyeimbang yang dikelola dalam rekening khusus dan ditetapkan dengan peraturan daerah.
Kedua, belanja daerah yang terdiri atas 4 (empat) komponen yakni: belanja aparatur daerah, belanja pelayanan publik, belanja bagi hasil dan bantuan keuangan serta belanja tak terduga. Belanja aparatur daerah secara operasional dapat dipahami sebagai belanja yang dialokasikan dan digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat dan dampaknya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat luas. Sedangkan belanja pelayanan public, yakni belanja yang dialokasikan atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat dan dampaknya secara langsung dinikmati oleh masyarakat luas. Pada kedua jenis belanja ini, komponen-komponen pokoknya dapat dibedakan pada: (i) belanja administrasi umum yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa serta belanja perjalanan dinas, (ii) belanja operasi dan pemeliharaan serta (iii) belanja modal/pembangunan.
Dalam konteks belanja daerah inilah kinerja pelayanan unit kerja dapat diukur melalui tolok ukur kinerja (TUK), standar biaya dan ukuran penilaian. Tolok ukur kinerja pada setiap item kegiatan hendaknya dapat memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan tingkat relevansinya, mudah dipahami, konsisten, dapat diperbandingkan dan dapat dipercaya. TUK tersebut dengan ketetapan standar biaya yang ada menjadi indikator utama dalam melakukan penilaian yang berkaitan dengan input, output, outcomes, benefit dan impact dari setiap kegiatan yang dijalankan.
Ketiga, pembiayaan daerah, dimana dalam operasionalisasi penyusunan APBD ini terdiri atas dua komponen penting yang kejadiannya berjalan secara “bersyarat”. Artinya, jika komponen pertama yang terjadi maka komponen yang kedua tidak dapat tercipta, begitupun sebaliknya. Kedua komponen tersebut adalah penerimaan daerah dan atau pengeluaran daerah. Dimana jika system penganggaran dalam APBD menganut system deficit, maka yang dipikirkan oleh pemerintah daerah adalah bagaimana mencari dan mengkreasikan sumber-sumber penerimaan untuk menutupi kebutuhan defisit yang ada, dengan mengacu asumsi normatifnya bahwa kreasi sumber-sumber pembiayaan tersebut tidak akan memberatkan beban pada masyarakat luas.
Komponen-komponen yang memungkinkan untuk menutupi defisit anggaran tersebut antara lain: sisa perhitungan tahun lalu, transfer dana cadangan, penerimaan pinjaman dan obligasi serta hasil penjualan aset daerah. Sedangkan jika sistem penganggaran dalam APBD menganut anggaran surplus, maka tantangan berpikir bagi pemerintah daerah adalah bagaimana mengalokasikan surplus anggaran yang tersedia. Sejumlah kemungkinan yang dapat dipikirkan oleh pemerintah daerah adalah, antara lain: transfer ke dana cadangan, penyertaan modal, pembayaran utang pokok yang jatuh tempo, sebagai sisa lebih perhitungananggaran tahun berjalan.

EFISIENSI DAN EFEKTIVITAS PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN
Desentralisasi dan otonomi yang “tidak sepenuhnya” pada mekanisme pengeluaran pemerintah daerah, hendaknya menjadi perhatian utama pemerintah daerah otonom. Tantangannya adalah menemukan dan menentukan mekanisme perhitungan pengeluaran yang lebih efisien dan efektif dalam pencapaian tujuan kesejahteraan daerah dan masyarakatnya. Asumsi dasarnya adalah dengan melakukan pengeluaran secara lebih tepat dan bermanfaat bagi masyarakat banyak, maka performance dan akuntability pemerintah daerah dapat menjadi lebih baik, serta pergerakan ekonomi masyarakat dan pertumbuhan ekonomi daerah dapat lebih cepat tercipta. Dengan demikian, yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah adalah upaya-upaya nyata untuk “mengarahkan” pengeluaran dan pembiayaan penyelenggaraan pemerintah daerahnya, melebihi usaha-usaha mendorong peningkatan PAD dengan membebani pajak dan retribusi kepada masyarakat yang sedang berada dalam keterpurukan ekonomi.
Tantangan terbesar bagi pemerintah daerah dewasa ini adalah membangun sistem keuangan daerah yang tepat harga (efisien) dan tepat sasaran (efektif), dimana berimplikasi pada manajemen keuangan daerah yang paling tidak memiliki: Pertama, Tolok Ukur “kewajaran” harga barang yang dibeli untuk kepentingan pelayanan publik, yang berarti pemerintah daerah perlu memiliki tolok ukur penentuan “economic value” dari setiap belanja daerah untuk kepentingan pembelian faktor produksi. Kedua, setiap penyelenggaraan pemerintahan yang telah “diarahkan” atau “dipilih” harus mampu menunjukkan atau memiliki urgensi serta prioritas yang cukup tinggi dan memberikan hasil yang maksimal bagi berkembangnya aktivitas ekonomi masyarakat dan pertumbuhan ekonomi daerah. Hal itu berarti, setiap input yang dibeli dengan standar “kewajaran” di atas, harus mampu menghasilkan output yang cukup signifikan dalam mendorong aktivitas ekonomi masyarakat dan kegiatan ekonomi daerah secara luas.
Secara umum, daerah otonom dewasa ini, baik kabupaten/kota maupun propinsi tidak hanya berhadapan dengan hambatan, tantangan dan kendala yang sifatnya instrumental input, tetapi juga enviromental input. Dimana secara nyata banyak daerah otonom yang “terjebak” dan bahkan menciptakan sendiri sejumlah perangkap bagi kepentingan efisiensi penyelenggaraan pemerintahannya. Hal ini antara lain bisa disimak dari sejumlah fenomena ataupun kenyataan, seperti (i) delegasi kewenangan masih terakumulasi atau mandek pada tingkat pemerintah daerah kabupaten/kota dan belum terdesentralisasi lebih lanjut pada skala pemerintahan di bawahnya, contohnya pada tingkat kecamatan bahkan pada skala kelurahan dan desa, (ii) organisasi pemerintah daerah terperangkap menjadi “gemuk”, dan tidak fungsional keberadaannya sebagaimana tuntutan visi daerah dan kepemimpinan masing-masing. Hal tersebut akan bermuara pada terjadinya “penggelembungan” biaya over-head yang harus ditanggung oleh pemerintah daerah bersangkutan.
Hal tersebut dapat diamati dan dicermati dari kondisi dan perkembangan kinerja kegiatan pemerintah daerah, seperti: Pertama, kebutuhan infrastruktur fisik, justeru semakin berkembang baik skalanya maupun volumenya. Kedua, tuntutan pelayanan publik pada penyelenggaraan bidang non-ekonomi (kesehatan, pendidikan, sosial-budaya, kelembagaan masyarakat, dll) juga senantiasa meningkat. Ketiga, pembangunan antar daerah/wilayah yang senantiasa diupayakan untuk diserasikan dan diseimbangkan untuk memperkokoh pengembangan wilayah. Keempat, penguatan kelembagaan serta aparat pemerintah daerah sendiri, baik untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas pelayanan publik maupun untuk dapat mengimbangi kemajuan dan perkembangan di sektor dunia usaha dan masyarakat.
Tuntutan perkembangan kinerja kegiatan pemerintah daerah tersebut, paling tidak diderivasi dari pertimbangan-pertimbangan pokok yang mendasari pembiayaan penyelenggaraan pemerintah daerah, berupa: Pertama, anggaran pembiayaan pada belanja aparatur, yang diperuntukkan sebagai pemenuhan kebutuhan internal rumah tangga pemerintah daerah yang sepenuhnya mengacu pada optimalisasi pelayanan tanpa mengorbankan dasar organisasinya. Kedua, dana pendamping yang dialokasikan untuk mendorong, mengkreasikan, atau memfasilitasi kegiatan bersama/kerjasama, baik dengan pemerintah pusat atau daerah lainnya, maupun dengan masyarakat luas (individu dan perusahaan). Ketiga, anggaran pembiayaan pembangunan yang merupakan derivasi dari penciptaan efektivitas pemanfaatan anggaran sehingga mampu menciptakan tabungan pemerintah (anggaran surplus) yang selanjutnya dialokasikan untuk membiayai kegiatan-kegiatan pemerintah daerah yang mengarah kepada terbentuknya income generating bagi pemerintah daerah.
Sepatutnya disadari dan dipahami bahwa sejumlah pertimbangan yang menjadi dasar penyusunan RAPBD dan APBD perlu dicermati dan ditelaah lebih jauh, antara lain: Pertama, keperluan akan validitas, konsistensi dan disiplin perencanaan program dan kegiatan pemerintahan sesuai dengan arah dan visi daerah masing-masing. Kedua, kehadiran suatu kerangka pembiayaan penyelenggaraan pemerintah daerah yang bersifat menyeluruh dan terpadu sebagai acuan dasar segenap subyek pemerintahan daerah masing-masing. Ketiga, kehadiran seperangkat kebijaksanaan dan strategi dasar pembiayaan penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan penganggaran, baik dalam memamfaatkan dan mengalokasikan dana yang berasal dari pemerintah daerah sendiri maupun dalam mengakses sumber pembiayaan dari pemerintah pusat. Keempat, pemanfaatan potensi pinjaman daerah. Kelima, kapasitas swadaya masyarakat. Keenam, efektivitas manajemen keuangan daerah.
Tantangan tersebut, pada dasarnya bukan merupakan fenomena baru bagi setiap pemerintah daerah. Patut disadari bahwa pada satu pihak, tanggung jawab yang didelegasikan kepada pemerintah daerah dalam era destoda dewasa ini semakin besar bobotnya dan semakin luas bidang cakupannya. Di lain pihak, dengan akan lebih besarnya peran sektor swasta dan masyarakat dalam pembiayaan pembangunan, maka masalah perencanaan, implementasi dan pengendalian serta pemantauannya menjadi semakin tidak sederhana pula. Itu berarti, dituntut suatu upaya yang lebih sistematik, mulai dari wawasan dan pemahaman secara lebih mendasar sampai kepada perumusan kebijaksanaan pembiayaan penyelenggaraan pemerintah daerah yang benar-benar valid, agar dapat menyakinkan banyak pihak untuk tetap committed dan mendukung, sehingga mampu mendorong pencapaian tujuan bersama, untuk memajukan daerah dan masyarakatnya.

PENUTUP
Era Destoda berimplikasi pokok pada pembiayaan penyelenggaraan pemerintah daerah, dimana menuntut prakarsa, inisiatif dan kreativitas perangkat pemerintah daerah dalam mengembang segenap fungsi dan tugas pokok pemerintahan di daerahnya. Mulai dari menata pemanfaatan sumber-sumber pembiayaan, merencanakan dan selanjutnya mensosialisasikan ke tengah masyarakat tentang kerangka pembiayaan pemerintahan di daerahnya, menjamin efektivitas pembiayaan tersebut dalam rangka pencapaian tujuan, sampai kepada pengendalian dan pemanfaatannya.
Perkembangan paradigma sistem pengelolaan keuangan daerah, memang menuntut perubahan yang amat mendasar sejak dari wawasan dasar perencanaan dan pembiayaan penyelenggaraan setiap pemerintah daerah. Peranan pemerintah dalam semua dimensi dan kepentingan pemerintahan akan senantiasa strategis dan mendasar sifatnya. Hanya saja, tidak semuanya harus dipikirkan sendiri, dimana bersumber dan semua datangnya dari pemerintah semata. Peran strategis dan mendasar pemerintah daerah tersebut, terutama diwujudkan dalam bentuk kebijaksanaan dan strategi pengembangan segenap potensi sumberdaya pemerintahan yang dimiliki atau tersedia di daerahnya. Teruji dan terbuka untuk dapat diakses oleh segenap subyek pemerintahan di daerahnya. Hal ini kiranya dapat dipandang sebagai kecenderungan yang amat kuat, logis dan valid pada era-era Destoda sekarang ini dan ke depan. Walaupun saat ini, mungkin kondisi setiap daerah masih bervariasi potensi dasar maupun tingkat perkembangan yang dicapainya, namun tuntutan agar setiap daerah otonom “mempersiapkan diri”, kiranya sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Salah satu yang paling strategis hendaknya disiapkan oleh setiap daerah otonom guna pencapaian kinerja pemerintahan daerah melalui indikator-indikator keuangan daerah adalah signifikannya kehadiran kelembagaan pemerintah daerah yang secara khusus mengelola keuangan daerah, baik dari sisi penerimaan maupun pada sisi pengeluaran. Daerah otonom hendaknya secara cermat merespon kehadiran pendekatan penganggaran yang didasarkan pada pencapaian kinerja pemerintah daerah.
Daerah otonom sadar atau tidak sadar, sedang dituntun untuk lebih banyak mengutak-atik sisi pengeluaran, bukan pada sisi penerimaan, UU No. 32/2004 menyebutkan bahwa salah satu bidang yang tidak didesentralisasi adalah fiskal dan moneter. Pemerintah daerah hanya diberikan kewenangan dalam mengalokasikan pembiayaannya, dengan tuntutan dan tuntunan “berbasis kinerja”. Efisiensi dan efektivitas pengelolaan keuangan daerah seakan menjadi aksioma dalam pilihan rasional bagi pemerintah daerah otonom, mengingat keleluasaan dalam alokasi pengeluaran diperhadapkan dengan keterbatasan kewenangan dalam penerimaan daerah. Keterbatasan dalam mengkreasikan penerimaan daerah, secara normatif untuk mencegah dan sebagai langkah antisipatif pada besarnya beban penerimaan daerah yang ditanggung oleh masyarakat umum. Dalam perspektif penerimaan yang terbatas tersebut dan perspektif keleluasaan alokasi pengeluaran daerah tersebut, men-justifikasi semakin signifikannya kehadiran manajemen keuangan daerah yang bukan hanya memiliki sistem pengelolaan yang terpadu, tetapi juga fisik kelembagaan yang kapabilitasnya dapat dipertanggungjawabkan, sebagaimana amanat UU No. 17/2003 yang merekomendasikan untuk perlunya setiap pemerintah daerah membentuk semacam pengelola keuangan daerah sebagai Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang secara terpadu, integratif dan menyeluruh mengelola keuangan daerah, baik dari sisi penerimaan maupun dari sisi pengeluaran daerah dan pelaporannya.

DAFTAR PUSTAKA
Blakely, Edward J., Ted K. Bradshaw, 2002, Planning Local Economic Development:
Theory and Practice, Sage Publications, London, NewDelhi.

Departemen Dalam Negeri, 2002, Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29/2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan AnggaranPendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan BelanjaDaerah.

Devas, Nick, 1989. Financing Local Government in Indonesia, Southeast Asia Series, Number 84, Athens, Ohio.

Davey, Kenneth, 1988, Pembiayaan Pemerintah Daerah: Praktek-Praktek Internasional dan Relevansinya Bagi Dunia Ketiga, UI-Press, Jakarta.

Goldsmith, Arthur A., 1996, Business, Government, Society: The Global Political Economy, Time Mirror Higher Education Group, Chicago USA.

Guize, E.C., 1996, Managing a Local Governance Awards Program: The Galing Pook Experience, Dalam The Asian Manager Vol. IX No. 4, Asian Institute of Management and The Federation od Asian Institute ofManagement Alumni Associations.

Landau, Daniel. 1983. Government Expenditure and Economic Growth: A Cross-Country Study. Southern Economic Journal.

Lopez, Tomas B., 1996, The Social Marketplace: Where Government, Business, and Development Institutions Compete, Dalam The Asian Manager Vol. IX No. 4, Asian Institute of Management and The Federation od Asian Institute of Management Alumni Associations.

McKenzie, Richard B. 1980. Economic Issues in Public Policies. McGraw-Hill Book Company, New York.

Morato, Eduardo A., 1996, Redefining the Global Development Paradigm, Dalam The Asian Manager Vol. IX No. 4, Asian Institute of Management and The Federation of Asian Institute of Management Alumni Associations.

Osborne, David, Gaebler, Ted, 1993, Reinventing Goverment: How The Entrepreneurial Spirit Is Transforming the Public Sector, Plume, New York.

Pemerintah RI, 1999, Undang-Undang No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah.

____________, 1999, Undang-Undang No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerinta Pusat dan Daerah.

___________, 2003, Undang-Undang No.1 7/2003 tentang Keuangan Negara.

____________, 2000, Peraturan Pemerintah No. 105/2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Ujung Pandang

Sallatu, A. Madjid, 1995, Pengembangan Kelembagaan Dispenda (Institutional Development): Fungsi Penerimaan atau Fungsi Keuangan Daerah, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Ekonomika, Edisi II, Ujungpandang.

____________, 1997. Pendanaan dan Otonomi Daerah, Tidak Dipublikasikan, Ujungpandang.

Shah, Anwar, and Qureshi, Zia, 1994. Intergovermental Fiscal Relations In Indonesian: Issues and Reform Options, The World Bank, Washington D.C.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar